Friday 2 September 2016

Faham Etika Fotografi di Media Sosial

Pada zaman ini, fotografi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Umumnya fotografi digunakan sebagai media untuk berbagi momen, tak hanya momen yang baik, tetapi juga momen kesedihan, kesakitan, bahkan momen kematian. Namun sayangnya kemudahan mengabadikan momen ini tidak dibarengi dengan etika menghormati hak orang lain.

Umum sekali kita jumpai kiriman di media-media sosial yang memperlihatkan foto korban kecelakaan, bencana alam, foto korban dengan aurat yang tersingkap, bahkan foto potongan tubuh dari korban kecelakaan tersebut. Parahnya orang-orangpun turut berlomba-lomba membagikan foto itu. Mereka berdalih membagikan kiriman itu atas dasar simpati terhadap korban, dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari foto tersebut. Sikap ini merupakan sikap yang keliru. Menyebarkan foto tanpa seizin orang yang bersangkutan merupakan satu bentuk pelanggaran hak, apalah lagi jika foto tersebut merupakan foto yang menampilkan kondisi atau bagian tubuh yang orang tersebut tidak menginginkan untuk diperlihatkan kepada orang lain. Prilaku seperti ini dapat dituntut oleh ahli waris korban jika mereka tidak menyukai hal tersebut, sangsi pidanapun bisa-bisa diterima pelaku.

Semasa hidupnya, setiap orang terkhusus muslim tentunya menginginkan untuk senantiasa tampil baik di hadapan orang lain. Mereka rela habis ratusan ribu rupiah agar dapat tampil cantik, rapi nan enak dilihat mata. Mereka senantiasa menutupi aurat mereka, menggunakan make up, mendandani diri mereka dengan pakaian rapi nan elok dipandang.

Hal ini tentunya juga mereka inginkan ketika mereka meninggal dunia. Tentu, semua orang menginginkan di akhir hidupnya dapat meninggal dalam kondisi yang baik. Namun, tidak semua orang dapat merasakan nikmat tersebut. Mungkin diantara kita ada yang meninggalnya dirumah sendiri, di rumah sakit, dibarengi dengan keluarga, sanak saudara, namun ada juga diantara kita yang diakhir hayatnya meninggal dalam kondisi yang tidak mengenakkan, kecelakaan misalnya.

“Perumpamaan seorang muslim terhadap saudaranya adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada satu bagian tubuh yang mengerang kesakitan, maka yang lainpun turut merasakan kesakitan itu (HR. muslim)”. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa berada di garda terdepan membantu saudaranya yang tertimpa musibah. Namun, hal ini harus sesuai dengan tuntunan, syari’at, dan etika yang berlaku. Kita sepatutnya tidak bersikap yang berlebihan dalam menyikapi musibah yang diderita oleh saudara kita yang mungkin hal tersebut bukannya memberikan manfaat, namun malah memberikan mudharat yang lebih bagi mereka yang tertimpa musibah. Seorang muslim sepatutnya memuliakan kehormatan saudaranya. Oleh sebab itu, segala perkara yang dapat mengakibatkan rusaknya kehormatan seorang muslim sangat dilarang oleh syari’at. Disamping itu, kita juga diperintahkan untuk senantiasa menjaga aib atau cacat yang diderita orang lain. “barangsiapa yang menutup aib/cacat orang lain, maka Allah juga akan menutup aib/cacat yang ada pada dirinya (HR. Muslim)”.

Kalau saja diantara kita ketika hendak keluar rumah berusaha menjaga penampilan, berdandan cantik di depan cermin, dan ingin selalu tampil baik nan elok dipandang dihadapan orang lain, maka bagaimana mungkin kita tega memperlihatkan kondisi saudara kita yang terbujur kaku bersimbah darah, dengan aurat yang terbuka dan dengan kondisi yang tidak mengenakkan untuk dipertontonkan. Coba bayangkan jika hal tersebut terjadi pada diri kita. Apa kita rela ketika kita meninggal dalam kondisi seperti itu, foto kita diabadikan, disebar dan dibagikan di media-media sosial, dilihat oleh banyak orang. Tentunya tidak ada satu orangpun yang menginginkan.

Disamping itu, perlu juga kita fikirkan bagaimana perasaan keluarga, sanak saudara korban tatkala melihat foto sanak kerabatnya tersebar dalam kondisi yang mengenaskan seperti itu. Hal ini akan turut membangkitkan kesedihan pada diri mereka. Sebagai muslim kita diperintahkan untuk senantiasa menghibur sanak saudara dan keluarga yang ditinggal kematian, bukan malah membangkitkan kesedihan tersebut.

Masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan rasa simpati kita terhadap mereka yang tertimpa musibah dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan syari’at seperti dengan bertakziah, memberikan bantuan atau cukup dengan mendo’akannya. Kalaupun jika tujuannya hendak mengabari kondisi tragedi di lapangan, tidaklah seharusnya dengan menampilkan foto-foto yang dapat menimbulkan ketakutan dan kesedihan bagi muslim lainnya. Jikalaupun dalam kondisi terdesak, hendaknya dengan menyamarkan foto korban sehingga identitasnya tidak dikenali secara utuh. Islam mengajarkan untuk senantia menjaga kehormatan orang yang sudah mati sebagaimana ketika ia masih hidup, menutupi aib dan cacat mereka, bukan malah mempertontonkan apalagi menyebarkan.