Thursday 23 November 2017

Sekolah Laskar Pelangi di Dusun Sampang


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) rumusan pasal 33 ayat 3 secara gamblang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata makmur sendiri memiliki makna banyak penduduk yang sejahtera, serba berkecukupan, dan tidak berkekurangan
( Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia ). Artinya, dengan penguasaan kekayaan alam yang berlimpah ruah ini, Negara harus mampu memanfaatkan kekayaan alam tersebut guna menyejahterakan rakyatnya, sehingga masyarakat dapat cukup sandang, pangan, papan, serta yang tak kalah penting yaitu kebutuhan pendidikan.

Seringkali membuat geram jika melihat realita yang terjadi atas pengamalan rumusan UUD pasal 33 ayat 3 ini. Bagaimana tidak, kekayaan alam yang berlimpah ruah bukannya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, namun diperjualbelikan untuk kepentingan kapitalis dan elit politis. Sebagai Negara tropis, Indonesia memiliki hutan paru-paru dunia yang kaya akan sumber daya alamnya. Belum lagi kekayaan tambangnya, minyak bumi, emas, intan, dan batu permata, sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahkan duniapun juga telah mengakui. Belum lagi hasil laut Indonesia yang menyumbang 10 % kebutuhan perikanan global (sumber : katadata.co.id/infografik/2017/02/13/potensi-besar-laut-indonesia ). Ini menimbulkan pertanyaan besar jika masih saja terjadi ketimpangan sosial di negeri yang kaya raya ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2017, penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Meskipun persentase di tahun 2017 ini mengalami penurunan, namun jumlah angkanya terus bertambah. Hal ini bermakna, masih terdapat 27,77 juta warga Negara Indonesia yang belum merasakan kesejahteraan, kemakmuran hidup seperti yang diamanahkan konstitusi.

Kemakmuran rakyat erat pula kaitannya dengan tingkat pendidikan, konstitusi kita sebetulnya telah memprioritaskan kebutuhan dasar yang satu ini. Hal tersebut tertuang dalam rumusan pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945 lengkap dengan anggarannya pula, tidak tanggung-tanggung 20 % dari APBN dan APBD. Tapi apakah amanat konstitusi ini telah dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah?. Jika ditelisik kembali, nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum tersentuh pendidikan, masih banyak sekolah-sekolah yang setengah rubuh, yang tidak layak guna. Penulis menyebut kondisi ini mirip semacam sekolah laskar pelangi dalam novel garapan Andrea Hirata.

Kisah nyata yang dialami oleh penulis sendiri ketika melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) FMIPA Universitas Tanjungpura beberapa bulan yang lalu. Pada saat itu, kebetulan kami ditugaskan di Desa Teluk Empening, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya. Desa ini memiliki 3 dusun yang diantaranya Dusun Sampang, Dusun Kelola Jaya, dan Dusun Tanjung Harapan. Sebagai akademisi, kami menyempatkan untuk mengajar di salah satu Madrasah Ibtidaiyah, di Dusun Sampang.

Siang itu, setiba di Madrasah Ibtidaiyah, kami disambut oleh riang tawa anak-anak kecil yang berlarian bermain di halaman madrasah. Diantara mereka ada yang berseragam sekolah lengkap, namun ada pula yang tidak berseragam sekolah, tidak beralas kaki. Saat kedatangan kami, belum ada satupun guru yang datang, padahal waktu telah menunjukkan bahwa proses kegiatan belajar mengajar seharusnya telah dimulai. Setelah menunggu beberapa saat, seorang bapak-bapakpun menghampiri kami, ia adalah salah seorang dari tiga guru yang mengajar di madrasah ibtidaiyah ini.
Dari penuturan beliau, madrasah ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak di Dusun Sampang. Yang mengajar disini pun adalah guru-guru yang secara sukarela menyempatkan sedikit waktu disamping kesibukan kerjanya yang lain. Beberapa diantaranya ada yang bekerja di kantor urusan agama (Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah), dan ada juga yang bekerja sebagai guru tetap di salah satu sekolah dasar lain yang ada di Desa Teluk Empening ini.

Secara fisik. madrasah ini berdindingkan papan, dengan 3 ruangan kelas untuk belajar mengajar, sedangkan ruangan lainnya digunakan sebagai ruang guru. Seperti kebanyakan sekolah dasar lainnya, madrasah ini juga mempunya enam jenjang tingkatan kelas. Artinya, untuk pememenuhan kebutuhan belajar mengajar di ruangan yang serba terbatas, di madrasah ini, satu ruangan dipakai untuk dua tingkatan kelas. Hal yang membuat penulis berfikir, bagaimana proses belajar mengajarnya? Efektifkah kegiatan belajar mengajar dengan kondisi semacam itu?.

Diungkapkan oleh seorang guru lainnya, madrasah ini dibangun atas dasar prihatin terhadap kondisi beberapa anak-anak di Dusun Sampang yang tidak mendapatkan akses pendidikan, disebabkan mereka lebih memilih membantu orang tua berkerja pada waktu dini hari hingga pagi harinya. Seusia mereka telah terbiasa bekerja membantu orang tua di kebun karet. Atas dasar itulah proses belajar mengajar di madrasah ini dilakukan pada siang hari. “Asal mau belajar sajalah mereka ini, sebab itu tidak masalah jika tidak berseragam, beralas kaki” tutur guru tersebut.

Mengajar 2 tingkatan kelas dalam satu waktu bukanlah sebuah perkara yang mudah. Ketidak efektifan belajar mengajar sudah pasti menjadi jawaban atas kondisi ini. Apa lagi ketika hanya ada seorang guru yang datang pada hari tersebut, tentu akan lebih menyulitkan. Seorang guru mengajar enam tingkatan kelas sekaligus dalam satu waktu. Hasilnya tentu jauh dari kata berhasil, untuk beberapa siswa kelas lima SD, di madrasah ini masih ada yang belum lancar hitung menghitung. Ini wajar dengan pola pembelajaran demikian.

Hal tersebut menyulitkan mereka ketika melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sekolah menengah pertama (SMP). Beberapa anak lulusan madrasah ini, mengalami kesulitan bersaing dengan teman-temannya yang lain ketika memasuki jenjang SMP. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang guru madrasah itu sendiri. Ditambah lagi beberapa diantara mereka ada yang masih sulit menggunakan Bahasa Indonesia. Mereka masih begitu kental menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Madura. Sebab itu, penekanan penggunaan Bahasa Indonesia di kelas untuk siswa di madrasah ini sangat amat diprioritaskan disamping mempelajari mata pelajaran yang lain.

Setelah sekian lama berbincang-bincang, kami pun memohon izin untuk melakukan proses belajar mengajar. Tim yang berjumlah enam orang kami bagi di tiga ruangan kelas, masing-masing ruangan kelas diisi dengan dua orang pengajar. Metode pengajarannya pun dilakukan sama seperti yang dipraktekkan oleh guru di madrasah ini. Waktu belajar mengajar dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama kami harus memilih salah satu dari dua tingkatan kelas yang akan diajar terlebih dahulu. Sebab, meskipun kami berdua di ruangan ini, sangat tidak mungkin jika kami beradu suara dan berebut papan tulis di ruangan sempit tersebut.

Proses belajar mengajarnya dilakukan dengan sedikit menerangkan materi pelajaran untuk kemudian memberikan latihan soal. Di sela –sela mereka mengerjakan latihan soal tersebutlah, kami gunakan untuk mengajar tingkatan kelas yang lain hingga menjelang waktu sore, tanda kelas bubar. Dari rentang pukul satu hingga pukul lima sore, kami hanya dapat melakukan transfer ilmu dalam waktu dua jam untuk setiap kelasnya. Terasa sangat singkat, dan hanya inilah yang bisa kami dan guru-guru madrasah ini berikan di tengah keterbatasan fasilitas dan tenaga pengajar.

Demikianlah gambaran singkat yang kami rasakan ketika melakukan pengabdian kepada masyarakat di desa terpencil, yang luput dari perhatian pemerintah. Pendidikan dasar sembilan tahun yang sepatutnya menjadi hak warga Negara yang dijamin konstitusi, ternyata masih belum disentuh dengan baik dan merata oleh mereka yang tinggal di sudut-sudut perkampungan, di desa-desa terpencil. Kisah diatas merupakan fenomena puncak gunung es. Sedikit yang tampak, namun sebenarnya ada lebih banyak kisah-kisah serupa yang luput dari perhatian, atau mungkin saja ada yang lebih parah dari kisah diatas di negeri yang katanya kaya gemah ripah loh jinawi ini. Semoga tulisan ini dapat menggugah hati pemimpin-pemimpin, terkhusus bagi diri kita sendiri sebagai akademisi, agar dapat lebih memperhatikan dan peduli terhadap kebutuhan pendidikan saudara-saudara kita yang tinggal di pedalaman pedesaan. Sebab pendidikan adalah bekal yang menentukan akan dibawa kemana bangsa ini ke depan.

Thursday 9 November 2017

Maksiat Menutup Pintu Ilmu



Sebagai seorang pelajar, kewajiban kita tentunya adalah menuntut ilmu. Dalam agama Islam, menuntut ilmu merupakan satu hal yang sangat penting. Bahkan nabi memerintahkan untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat, artinya kita dituntut untuk senantiasa belajar semenjak kita dilahirkan hingga datang kematian. Dengan belajar, wawasan dan pola pikir kita akan lebih terbuka dan terarah. Dan dengan belajar pula Allah akan meninggikan derajat hambanya. “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Mujadalah/58: 11).

Terkadang, semangat belajar ini tidak sebanding dengan apa yang kita harapkan. Seringkali kita membaca dan menghapal, namun bacaan dan hapalan tersebut mudah hilang begitu saja. Atau mungkin ketika kita diterangkan pelajaran oleh guru kita di kelas namun ketika ditanya kembali materi yang telah diajarkan tersebut pada keesokan harinya, hanya beberapa saja yang kita ingat atau bahkan tidak kita ingat sama sekali. Dan ada yang lebih parah lagi, ketika baru saja diterangkan materi pelajaran, tak lama beberapa saat setelah diterangkan materi tersebut ,lalu ditanya kembali pun masih banyak diantara kita yang lupa.

Lebih sulit lagi teruntuk teman-teman yang sedang dalam proses ingin menghapal Al-quran. Seringkali untuk menghapal beberapa ayat saja sudah sulit, pun ketika sudah dapat dihapal, hapalan tersebut tidak dapat bertahan lama. Begitu terasa sekali kesulitan menghapalnya. Coba kita bandingkan dengan adik-adik kita di Palestina, di usia SD saja ada yang sudah hafizh Qura’an 30 Juz.

Lebih hebatnya lagi jika kita membaca biografinya Imam Syafi’i. Imam Syafi’I adalah adalah satu diantara 4 imam mazhab terkemuka. Disamping terkenal dengan kealiman, keteladanan dan kezuhudannya, Ia juga terkenal sebagai ahli fiqih dan seorang yang sangat bagus hapalannya. Hapal Alquran dalam usia tujuh tahun, tuntas membaca kitab Al-Muwatha’ dihadapan penulisnya yang sekaligus gurunya dalam usia sepuluh tahun, serta diberi otoritas menyampaikan fatwa di usia lima belas tahun merupakan keistimewaan yang tidak semua orang dapat memilikinya. Lantas apa rahasia kuatnya hapalan Imam Syafi’I tersebut? Selanjutnya akan kita bahas dan renungkan pada kisah berikut.
Suatu ketika Imam Syafi’i pernah bertanya kepada gurunya ketika menghadapi kesulitan menghapal, sebelumnya Ia tidak pernah sama sekali mengalami kesulitan. Berbeda dengan kita yang sering mengalami kesulitan hingga menjadi hal yang biasa ketika lupa. Kisah tersebut adalah ketika Ia bertanya kepada gurunya, Imam Waki’. “Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).

Kisah diatas mengindikasikan bahwa maksiat adalah penghalang mudahnya menuntut ilmu. Sebab itu ketika kita mengalami kesulitan belajar maka lakukanlah introspeksi diri terhadap maksiat apa yang telah kita perbuat. Imam Syafi’i yang tidak sengaja melihat betis perempuan yang berjalan di depannya saja dapat menghilangkan beberapa hapalannya, apa kan lagi dengan kita yang melihat lebih dari itu dengan sengaja. Bahkan dengan kepo menstalking foto-foto mereka di sosial media dengan syahwat, dan dengan mudahnya kita melihat situs-situs porno. Maka jangan heran jika mengalami kesulitan belajar, ilmu menjadi sulit dicerna dan dihapal. Sebab ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberi kepada ahli maksiat. Oleh karena itu, bagi kita penggiat ilmu hendaknya senantiasa menjaga pandangan atau gahdul bashar dari hal-hal yang dapat menimbulkan syahwat.
*Penulis adalah alumni Rohis SMAN 2 Mempawah

Wednesday 8 November 2017

Khilafah Islamiah Vs Faham Komunis, Sama Bahayakah?

 
sumber : https://1.bp.blogspot.com


Akhir-akhir ini seringkali kita mendengar dengungan kaum liberalis yang menyama-ratakan bahaya kebangkitan komunis dengan khilafah islamiah. Ini merupakan penyama-rataan yang salah kaprah dan merupakan upaya doktrinisasi untuk menjauhkan nilai-nilai islam dan cita-cita kebangkitan islam ( khilafah ) di hati umat islam, atau lebih tepatnya agar umat islam sendiri menjadi benci dengan khilafah. Untuk menjawab penyamaan-penyamaan yang dilakukan oleh kaum liberalis tersebut, sebaiknya kita jawab dengan memberikan perbandingan fakta sejarah ketika kebangkitan islam tegak dan ketika kebangkitan komunis tegak.

Agama islam dibawa oleh nabi Muhammad yang lahir pada 12 Rabiul Awwal tahun gajah atau bertepatan dengan 20 April 571 Masehi , sosok yang sedernana, santun tutur katanya, mandiri, serta senang tolong-menolong dan dapat dipercaya. Agama islam lahir sejalan turunnya wahyu pertama yang disampaikan oleh malaikat jibril kepada nabi Muhammad pada tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 Masehi. Agama islam yang awalnya disebarkan secara sembunyi-sembunyi, seiring berjalannya waktu Allah perintahkan untuk disampaikan secara terang-terangan. Dakwah yang disampaikan secara terang-terangan menimbulkan gejolak di kalangan kaum Quraisy. Cacian, intimidasi, penyiksaan, hingga pemboikotan dari sisi perekonomian terus-menerus dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap umat islam. Dakwah yang santun berbalas dengan kekerasan.

Ini terus berlanjut hingga turunlah perintah hijrah ke madinah. Di madinah umat islam diterima dengan sangat baik. Dakwah yang santun, bukan dengan pembebasan dan kekerasan berimbas pada berbondong-bondongnya orang-orang Madinah datang untuk memeluk agama islam. Di madinah nabi membentuk tatatan masyarakat baru, kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan kaum Anshar. Bangsa yahudi dan bangsa arab yang belum menganut agama islam dijamin keberadaannya. Hal ini tertuang dalam Piagam Madinah yang isinya sebagai berikut :
- Kaum Yahudi bersama kaum muslimin wajib turut serta dalam peperangan.
- Kaum Yahudi dari Bani Auf diperlakukan sama kaum muslimin.
- Kaum Yahudi tetap dengan Agama Yahudi mereka, dan demikian pula dengan kaum muslimin.
- Semua kaum Yahudi dari semua suku dan kabilah di Madinah diberlakukan sama dengan kaum Yahudi Bani Auf.
- Kaum Yahudi dan muslimin harus saling tolong menolong dalam memerangi atau menghadapi musuh.
- Kaum Yahudi dan muslimin harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika terjadi penganiayaan atau kedhaliman.
- Kota Madinah dipertahankan bersama dari serangan pihak luar.
- Semua penduduk Madinah di jamin keselamatanya kecuali bagi yang berbuat jahat”.

Demikian pula jika kita mempelajari peristiwa-peristiwa pembebasan yang pernah dilakukan oleh umat islam. Bermula ketika pembebasan kota mekkah. Pembebasan ini merupakan pembebasan yang terjadi disebabkan oleh bani bakr yang bersekutu dengan kaum Quraisyh melanggar perjanjian damai hudaibiyah yang dibuat bersama dengan menyerang bani khuza’ah yang bersekutu dengan kaum muslimin. Atas pengkhianatan ini, kaum Quraisy bukannya memilih denda ataupun memutuskan hubungan dengan bani bakr sebagaimana yang ditawarkan oleh kaum muslimin sebagai akibat bani bakr yang telah melanggar perjanjian damai, melainkan justru memilih membatalkan perjanjian hudaybiah dan atas dasar itulah terjadinya pembebasan kota mekkah. Umat islam dengan 10.000 pasukan telah bersiap untuk menyerang kota mekkah dan tepatnya pada tanggal 1 Januari 630 M kota mekkah berhasil ditaklukkan dengan damai, tanpa peperangan.

Agama islam terus berkembang berlanjut dengan kepemimpinan khulafa urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiah, hingga kekhalifahan terakhir Ottoman. Bisa kita lihat bagaimana damainya ajaran islam pun pada saat masa pembebasan dan peperangan. Kita ingat kembali kisah pembebasan palestina untuk kedua kalinya yang dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi. Paska pembebasan, Shalahuddin masuk ke bumi Palestina dengan penuh kedamaian. Sikapnya yang lemah lembut dan penuh toleransi berhasil merobohkan persepsi buruk betapa kejamnya Salahuddin Al-Ayyubi di mata tentara salib. Di akhir pembebasan, pujian terhadap santunnya akhlak salahuddin al-Ayyubi bukan hanya didengungkan di kalangan umat islam saja, pun Raja tentara salibpun turut mengakui keluhuran budinya. Seluruh masyarakat palestina dengan segala Ras dan agama diberi hak yang sama, saling menjaga dan saling toleransi membangun tatanan palestina yang baru, tanpa tirani.

Selanjutnya kita pelajari kembali bagaimana Muhammad Al-Fatih menaklukkan konstantinopel. Setelah pembebasan terjadi apakah masyarakat konstantinopel yang tidak seakidah dengan ras yang berbeda dizalimi dan diintimidasi? Sejarah secara gamblang mencatat peristiwa paska pembebasan. Ketika Muhammad Al-Fatih berhenti di depan gereja besar. Didapatinya masyarakat Konstantinopel yang berlindung dan khawatir akan keselamatannya. Mereka teringat kejadian masa lalu di hari yang sama, ketika masyarakat muslim dibantai saat wilayahnya dikuasai. Namun Al-Fatih berkata, “Pergilah kalian wahai warga Konstantinopel yang ingin keluar dari sini, dan yang ingin tinggal maka kita bangun negeri ini bersama-sama”.

Muhammad Alfatih tidak mengatakan “pergilah atau masuk ke dalam islam” terhadap bangsa yang ditaklukinya, melainkan melindungi dan mengajak mereka bersama-sama membangun tatanan konstantinopel yang baru. Pun di Indonesia, islam masuk dengan damai melalui jalur perdagangan dan pernikahan serta dakwah yang santun. Dan ketika umat islam menjadi mayoritas di Indonesia, apakah yang minoritasnya dipinggirkan? Di Aceh yang menerapkan syari’at islam apakah lantas yang minoritas ditindas?. Pancasila lahir di tengah-tengah pemikiran umat islam. Lihat bagaimana kemurahan hati umat islam mayoritas ketika terjadi perbedaan pendapat pada sila pertama usulan Muhammad Yamin yang kini menjadi piagam Jakarta. Atas dasar toleransi umat islam yang mayoritaslah rumusan sila pertama tersebut diubah redaksinya hingga lahirlah sebagaimana pancasila  yang masih kita junjung tinggi sekarang.

Berbeda dengan ketika komunis berkuasa. Di China, di Kamboja, bahkan di Indonesia, atau di Negara-negara komunis lainnya. Sebuah artikel yang ditulis oleh Abdullah Manshur di majalah Turkistan, Al Islamiyah, menceritakan bagaimana kejahatan rezim Komunis Cina di Turkistan Timur. Di bawah kepemimpinan Mao Tse Tung, komunis china telah membantai sebanyak 4,5 juta Muslim. Mereka juga mengembargo ekonomi kaum Muslimin di Uighur di Turkistan Timur, melarang mereka untuk menduduki jabatan di pemerintahan, mencegah mereka dari berhubungan dengan kaum Muslimin lainnya di luar Turkistan, serta melarang mereka untuk pergi ke luar negeri.

Beda lagi ketika Komunis Khmer Merah berkuasa di kamboja. Ketika berkuasa, banyak penduduk kamboja yang ditangkap, disiksa, dan dibunuh oleh aparat Negara mereka sendiri. Tercatat selama khmer merah berkuasa, setidaknya sebanyak 2 juta jiwa rakyat kamboja meninggal dunia. Dan di Indonesia dapat kita lihat sendiri fakta sejarahnya ketika pemberontakan PKI 1948 di madiun dan ketika pemberontakan partai komunis Indonesia 30 September 1965, saksikan berapa banyak ulama, jenderal, dan masyarakat sipil kita yang terbunuh oleh kekejaman partai komunis Indonesia. Semua kisah diatas bukan merupakan dongeng dan isapan jempol belaka, adalah fakta yang telah terbukti kebenarannya.
Sebab itu, sangat tidak layak jika kebangkitan umat islam dan khilafah Islamiyah disandingkan dengan ideologi komunis. Kita boleh tidak setuju dengan konsep khilafah, tapi hendaklah tidak mencela mereka yang mendambakan konsep khilafah itu sendiri dengan menyama-nyamakan mereka layaknya ISIS dan komunis yang untuk menegakkan ideologinya menggunakan cara-cara yang tidak berprikemanusiaan. Khilafah islamiah adalah ideologi yang santun, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan dalam situasi perang sekalipun.


Aspek Sosial dan Spiritualitas dalam Rangkaian Tradisi Robo-Robo

sumber : http://www.pontianakpost.co.id/sites/default/files/field/image/robo.jpg

Hari rabu terakhir bulan Safar adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pesisir Kabupaten Mempawah, khususnya yang tinggal di Muara Kuala Mempawah. Pada hari tersebut terdapat tradisi yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kabupaten Mempawah, yaitu tradisi Robo-robo.
Tradisi Robo-robo merupakan napak tilas dari perjalanan Raja Opu Daeng Manambon beserta istrinya, Putri Kesumba dari Kerajaan Matan Sukadana (Kabupaten Ketapang) ke Kuala Mempawah untuk menerima titah kerajaan dari Putri Cermin. Istrinya, Putri Kesumba merupakan cucu dari Panembahan Senggaok yang merupakan keturunan dari Patih Gumantar dari Kerajaan Bengkulu Rajank Mempawah. Kedatangan Opu beserta istrinya ke kuala Mempawah tersebut terjadi pada hari rabu terakhir bulan Safar. Mereka disambut baik oleh masyarakat. Karena senang mendapat sambutan yang cukup baik, Opu Daeng Manambon pun memberikan bekal makanannya kepada masyarakat di pinggir sungai Kuala Mempawah. Selanjutnya, Raja opu daeng Manambon memanjaatkan do’a kepada Allah agar dihindarkan dari mala petaka. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama antara robongan kerajaan dengan masyarakat di pinggir sungai Kuala Mempawah.

Tradisi makan bersama ini terus dilestarikan oleh masyarakat Kabupaten Mempawah dan dinamakan dengan nama tradisi tolak bala. Tradisi tolak bala ini dilakukan dengan melakukan do’a dan makan bersama di tempat-tempat lapang seperti jalan-jalan desa, gang-gang maupun di sekolah-sekolah. Dalam tradisi ini masyarakat membaur. Tua, muda, kaya dan miskin membentuk barisan rapi di setiap jalan-jalan, dan gang-gang desa Kabupaten Mempawah.

Tradisi tolak bala pada rangkaian tradisi robo-robo ini memuat nilai-nilai spiritual dan sosial yang sepatutnya dijadikan pembelajaran bagi pemimpin-pemimpin di negeri ini. Dari sisi spiritualitas, seorang pemimpin harus sadar betul bahwa satu kerajaan, daerah, lebih luasnya lagi dalam lingkup Negara, tidak akan dapat maju, tenteram dan aman tanpa pertolongan dari Tuhan. Hal ini persis seperti apa yang dilakukan oleh Raja Opu Daeng manambon ketika akan menerima titah kerajaan yaitu dengan memanjatkan do’a agar dijauhkan dari bala dan mara bahaya. Bukan dengan bereuforia, dengan berpesta pora dan segala bentuk kesenangan lainnya. Beliau sadar betul ada kuasa yang lebih tinggi, yang karena kehendaknya kita bisa mendapatkan kebahagian, juga karena kehendaknya kita dapat mendapatkan kesengsaraan dan mala petaka.

Dari aspek sosial, Raja Opu Daeng Manambon yang melakukan makan bersama dengan masyarakat di pinggir sungai Kuala Mempawah mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu membaur dan memasyarakatkan diri dengan rakyatnya. Bukan menampilkan kesenjangan seolah Ia mempunyai kedudukan, merasa gengsi jika makan bersama dengan rakyat jelata.

Hal ini sangat sulit ditemui pada sosok pemimpin di masa ini. Jangankan untuk makan bersama dengan rakyatnya, untuk bertemu saja sudah susah. Mereka peduli dengan rakyatnya, blusukan di desa-desa hanya ketika sedang kampanye saja. Setelah itu, jangankan untuk makan bersama, untuk bertatap muka saja sudah sedemikian sulitnya. Mereka lebih senang makan di restoran-restoran mewah, dengan orang-orang yang hebat-hebat pula lengkap dengan ajudan-ajudannya. Kiri kanan mereka dijaga, yang tidak berkepentingan dilarang mendekat. Rakyat yang dulu memilihnya, kini bak rakyat jelata yang tak ada artinya. Mereka hanya sibuk dengan urusan perut, lupa dengan penderitaan rakyat. Membuat kebijakan sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat.

Berbeda cerita namun dalam satu hikmah, pemimpin yang merakyat dapat pula kita pelajari dari sosok Khalifah Umar bin Khattab. Kala itu tanah arab sedang mengalami masa paceklik. Lahan kekeringan, hewan ternak banyak yang mati, dan rakyat menderita kelaparan. Untuk mengetahui penderitaan rakyatnya, Umar bin Khattab ditemani Aslam melakukan perjalanan malam hari di perkampungan terpencil yang terletak di gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut, Khalifah umar bin Khattab terkejut mendengar isak tangis dari sebuah gubuk tua. Dihampirinya gubuk tersebut dan ditemuinya perempuan tua yang sedang memasak. Tampak pula dihadapan Umar seorang anak perempuan yang sedang menangis. Kemudian Umar bertanya mengapa anak perempuan tersebut menangis. Perempuan tua tersebut menerangkan bahwa anak tersebut menangis karena kelaparan. Khalifah umar terperanjat lantas kemudian ditanyanya apa yang sedang dimasak oleh perempuan tua tersebut. Alangkah terkejutnya umar ketika melihat, apa yang dimasak oleh perempuan tua tersebut adalah batu.

Setelah mendengar keluhan dari perempuan tua tersebut, khalifah umar langsung bergegas kembali ke madinah untuk membawakan sekarung gandum lalu memikulnya sendiri. Melihat hal tersebut, Aslam lalu menawarkan diri untuk membantu Umar. Bukannya senang atas bantuan tersebut, khalifah Umar malah marah dan berkata “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak? “. Aslam pun tertegun mendengar hal itu. Ia sadar betul bahwa kepemimpinannya kelak akan dipertannggung-jawabkan kepada pencipta. Demikianlah keteladanan Khalifah Umar yang dapat kita contoh bersama terkhusus bagi pemimpin di negeri ini.

Melalui tradisi tolak bala yang dilakukan dengan makan dan do’a bersama oleh Raja Opu Daeng Manambon, beserta kisah Khalifah Umar Bin Khattab diatas, memberikan hikmah bahwa pemimpin sepatutnya memasyarakatkan diri dengan rakyatnya, membaur agar dapat mendengarkan keluh kesah dan penderitaan rakyat. Bukan malah duduk tenteram di kantor, bergelimangan harta dengan fasilitas mewah. Melupakan bahwa dirinya hanyalah sebatas wakil rakyat yang harus kembali dan menemani rakyat. Disamping itu, seorang pemimpin harus mampu menampilkan nilai-nilai spiritualitas, harus senantiasa tunduk dan berserah diri pada kuasa pencipta, bukan dengan bersombong diri, bertinggi hati. Ikhtiar itu perlu, namun jangan lupa berserah diri pada Sang Maha segalanya.