Sunday 8 January 2017

Mendidik Berdasarkan Tiga Periode Kembang Anak

www.satumedia.net

Bangsa Indonesia kian dikhawatirkan dengan kenakalan-kenakalan generasi muda diluar batas seperti  kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan seks bebas. Disamping itu, generasi muda juga dijamuri dengan prilaku-prilaku kurang menghormati dan durhaka terhadap orang tua. Hal semacam ini dibuktikan dengan maraknya kasus-kasus nyata yang terjadi di beberapa daerah seperti yang beberapa bulan lalu terjadi di Kabupaten Mempawah, seorang ibu yang tidak tahan dengan perilaku buruk dan kasar anaknya hingga Ia khilaf menghabisi nyawa  anaknya sendiri. Anak tersebut memiliki perilaku buruk seperti suka mabuk-mabukan, bahkan sering bersikap kasar hingga menodong orang tuanya dengan senjata tajam tatkala keinginannya tidak dikabulkan. Di lain kasus juga sering kita jumpai penelantaran-penelantaran yang dilakukan oleh anak terhadap orang tua kandungnya bahkan parahnya lagi, hanya karena persoalan batas tanah anak tega memenjarakan orang tuanya sendiri.
Hal semacam ini perlu diperhatikan oleh setiap dan calon orang tua agar hal-hal tersebut dapat dihindari. Anak merupakan aset berharga yang harus dijaga dan dididik agar kelak dapat menjadi aset dunia maupun aset akhirat orang tua tatkala meninggal dunia kelak. Anak yang elok prilakunya, sholeh/sholehah dapat menarik orang tuanya ke syurga. Sebaliknya anak yang kurang elok prilakunya, seperti gemar melakukan kemaksiatan dan kriminalitas justru akan menjerumuskan orang tuanya ke jurang api neraka.
Anak harus dididik dengan pola didik yang tepat. Ada banyak teori terkait dengan pola didik ini. Dalam hal ini penulis hanya akan memaparkan bentuk pola didik dengan membagi periode pola kembang anak ala sahabat Rasulullah, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Sayyidina Ali ra membagi periode kembang anak dalam beberapa periode sebagai berikut, yakni 0-7 tahun, 7-14 tahun, dan 14-21 tahun. Pembagian periode kembang ini penting agar orang tua dapat lebih tepat dalam bersikap dan mendidik berdasarkan usia anaknya. Sebab jangan-jangan pembangkangan, kedurhakaan, dan kurang produktifnya anak-anak tatkala dewasa itu justru disebabkan oleh orang tuanya sendiri yang tidak tepat dalam bersikap dan mendidik anaknya tatkala masih kecil.
Periode  7 tahun pertama perlakukanlah anak layaknya raja. Pada periode ini sepatutnya orang tua melimpahkan kasih sayang dan perhatian yang penuh terhadap anak. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan orang tua pada periode ini yaitu jangan mudah  marah-marah terhadap anak, dan  jangan banyak larangan. Anak-anak yang terbilang sedikit nakal dalam periode ini tentu menjadi hambatan bagi kedua orang tua dalam mendidik, namun fahamilah bahwa kenakalan anak  itu adalah kewajaran sebab sebenarnya kenakalan anak itu sendiri sedikit banyak merupakan efek dari proses pembelajaran anak sebagai wujud dari keperibadian dan kreatifitas dari anak itu sendiri.
Pada periode 7 tahun kedua perlakukanlah anak layaknya pembantu atau tawanan. Maksudnya anak-anak harus mulai diberi batasan-batasan dalam pergaulan, tutur sikap, serta ajarkan anak kemandirian dan kedisiplinan. Kemandirian ini dapat berbentuk seperti mencuci pakaian, mencuci piring, dan menyetrika pakaiannya sendiri. Disamping itu ajarkan pula anak untuk disiplin dalam melaksanakan rukun-rukun islam seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Pemberlakuan reward and punishment dapat diberlakukan pada periode ini, seperti memukul anak ketika tidak sholat dan memberikan penghargaan tatkala anak rajin sholat, dapat berpuasa sebulan penuh di bulan ramadhan, atau ketika anak berprestasi di sekolah.  Hal ini diharapkan agar anak terpacu untuk selalu giat berprestasi,  mandiri dan disiplin beribadah kepada Allah SWT.

Selanjutnya pada periode 7 tahun ketiga, perlakukanlah anak layaknya sahabat.  Pada periode ini anak sudah dapat diberikan kebebasan menentukan jalannya sendiri. Posisikan orang tua sebagai sahabat tempat anak berkeluh kesah. Buat suasana yang nyaman sehingga anak tidak sungkan untuk bercerita tentang masalahnya dan berikan solusi yang tepat. Hal ini agar terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak. Disamping itu juga untuk menghindari agar anak tidak melampiaskan masalahnya dengan penyimpangan-penyimpangan sosial seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas, maupun dengan tawuran antar pelajar. 

Bahasa Daerah juga Patut dijaga Kelestariannya

http://image.slidesharecdn.com/

Indonesia merupakan negeri yang kaya. Kekayaannya ini tidak hanya terbatas pada sumber daya alamnya saja. Tetapi juga pada ragam, adat, budaya, suku bangsa, dan bahasa. Indonesia memiliki ratusan nama suku, bahkan jumlahnya mencapai  ribuan jika dirinci hingga ke sub sukunya. Hal ini menggambarkan sebegitu kaya dan beragamnya negeri ini.
Bicara soal suku tentunya akan ada kaitaannya pula dengan bahasa yang digunakannya. Kepala pusat bahasa Depdiknas, Dr. Dendy Sugondo mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah. Diantara banyaknya bahasa daerah tersebut, ada kurang lebih 154 bahasa daerah yang harus diperhatikan, yaitu sekitar 139 bahasa yang terancam punah dan 15 bahasa yang kini telah benar-benar punah. Hal ini disebabkan oleh kurang pedulinya warga negara terhadap pelestarian bahasa daerah ini.
Tuntutan komunikasi di daerah urban serta komunikasi di bidang politik, sosial, ekonomi, dan iptek di Indonesia memberi peluang hidup yang baik bagi bahasa Indonesia, yang meskipun bahasa Indonesia ini tidak cukup untuk memberikan prospek yang baik dibanding bahasa asing. Sebagai bahasa  nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia hanya menempati posisi kedua jika dilihat dari sisi ekonominya. Posisi yang tertinggi diduduki oleh bahasa asing, yang terakhir adalah bahasa daerah.Hal inilah yang membuat bahasa daerah sedikit demi sedikit tersingkirkan oleh penuturnya.
Selain masalah diatas. Tersingkirnya bahasa daerah juga disebabkan oleh pindahnya orang desa ke kota untuk mencari penghidupan yang layak dan oleh perkawinan antar etnis yang banyak terjadi di Indonesia.
Bahasa Indonesia menjadi bahasa penjembatani untuk mereka yang hidup di perkotaan yang plural sehingga menuntut mereka untuk meninggalkan bahasa daerah dan menggunakan bahasa nasional. Sama halnya juga untuk kasus perkawinan beda etnis. Umumnya orang tua akan meninggalkan penggunaan bahasa etnisnya dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung karena dianggap lebih adil. Hal ini mengakibatkan eksistensi bahasa daerah dalam keluarga tersebut menjadi tersingkirkan hingga ke anak keturunannya.
Perlindungan terhadap bahasa daerah sebetulnya telah diatur dalam amanat pasal 32 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Hal ini memberikan kesempatan bagi setiap warga negara untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa daerahnya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing.
Kesempatan untuk mengembangkan bahasa daerah ini bukanlah kebebasan tanpa batas. Perlu juga diperhatikan bahwa keleluasaan penggunaan dan pengembangan bahasa daerah harus memperhatikan norma sosial dan norma perundangan yang ada. Sebagai contoh, ketika berhadapan dan berbicara di muka umum yang plural sepatutnya gunakanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar untuk menghormati keberagaman dan norma-norma sosial masyarakat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berujung konflik.
Penggunaan bahasa daerah harus sesuai dengan porsi dan tempatnya. Perlindungan dan pelestarian bahasa daerah dapat dilakukan oleh penutur dengan penggunaannya dalam ranah keluarga, lingkungan etnis, agama serta kegiatan adat. Hal ini untuk menjaga eksistensi bahasa tersebut agar tidak punah. Bahasa daerah harus selalu dijaga kelestariaannya sebab bahasa daerah diibaratkan sebagai jati diri masyarakat dari daerah tersebut. Hilangnya bahasa daerah tentunya akan turut menghilangkan pula eksistensi dan keunikan dari daerah tersebut.
Upaya pelestarian bahasa daerah ini setidaknya telah dilakukan oleh bererapa daerah di Indonesia seperti dengan diadakannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 423.5/5/2010 tentang Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) untuk Jenjang Pendidikan SD/ SDLB/ MI, SMP/ SMPLB/  MTs Negeri dan Swasta, Keputusan Gubernur Bali Nomor 179 Tahun 1995, yang isinya untuk mewadahi kegiatan-kegiatan berkaitan dengan kehidupan bahasa, aksara dan sastra Bali, dan masih ada beberapa peraturan daerah lain yang tidak dapat penulis paparkan satu persatu dalam tulisan ini.

Hal diatas setidaknya menjadi titik terang pelestarian bahasa daerah agar senantiasa terjaga dan terhindar dari kepunahan. Peraturan ini patutnya di apresiasi oleh setiap kalangan sebab ini merupakan satu langkah awal atas kepedulian pemerintah terhadap pelestarian bahasa daerah. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan dapat menimbulkan kesadaran bagi generasi muda untuk senantiasa menjaga bahasa daerahnya yang kian hari semakin tergerus oleh arus modernisasi. Tidak perlu malu menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, asalkan digunakan dalam batas-batas yang wajar, sesuai porsi dan tempatnya. Sebab inilah jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki beragam suku, bahasa dan budaya.

Tips Menjadikan Anak sebagai Qurrata A’yun

http://2.bp.blogspot.com

Anak adalah anugerah sekaligus  amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada kedua orang tua. Anak akan menjadi anugerah tatkala anak terlahir menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah, ta’at terhadap kedua orang tua, dan dapat memberikan manfaat bagi orang disekitarnya. Sebaliknya anak dapat juga menjadi musibah bagi kedua orang tuanya tatkala seorang anak terlahir menjadi pribadi yang buruk, durhaka terhadap kedua orang tua, gemar melakukan kemaksiatan, kriminalitas dan selalu melanggar perintah Allah SWT. Oleh sebab itu diperlukan didikan yang tepat agar anak terlahir menjadi pribadi yang didambakan baik bagi kedua orang tua maupun bagi orang disekitarnya.
Al-Quran membagi kedudukan anak bagi kedua orang tuanya menjadi empat klasifikasi. Pertama, yaitu anak sebagai musuh bagi kedua orang tuanya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S At-Taghobun ayat 14 yang artinya  “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”
Kita tentunya pernah mendengar berita-berita di media cetak maupun media massa mengenai kisah seorang ibu yang  dipidanakan oleh anak kandungnya sendiri, kisah seorang nenek-nenek yang ditelantarkan oleh anak kandungnya, dan masih banyak kasus-kasus kedurhakaan anak lainnya yang dilakukan terhadap kedua orang tua. Hal semacam ini tidaklah kita inginkan terjadi pada diri kita tatkala kita menjadi orang tua kelak.
Kedua, yaitu anak sebagai musibah atau ujian bagi kedua orang tua. Hal ini dijelaskan dalam Q.S At-Taghobun ayat 15 yang artinya : “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) , dan di sisi Allah pahala yang besar.” Anak akan menjadi musibah tatkala anak-anak kita terjerumus dalam pergaulan yang negatif, misalnya sering melakukan tawuran, mengkonsumsi narkoba, dan berbagai perbuatan buruk lain yang akan memperburuk nama baik kedua orang tua.
Ketiga, yaitu anak sebagai perhiasan, sebagai mana yang dijelaskan dalam Q.S Al-Kahfi ayat 46, yang artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Maksud anak menjadi perhiasan disini adalah tatkala anak terlahir sebagai pribadi yang membanggakan kedua orang tuanya, memiliki kepintaran, selalu berprestasi di sekolah, serta memiliki kecantikan dan keelokan rupa. Anak semacam ini hanya sekedar menjadi kebanggaan duniawi semata bagi orang tua yang memilikinya. Layaknya perhiasan, seorang anak hanya sebatas elok dipandang namun tidak akan mampu memberikan manfaat yang banyak tatkala di akhirat kelak.
 Hal terpenting disamping seorang anak dapat dibanggakan oleh kedua orang tua di kehidupan dunia dengan segala macam prestasi yang dicapai, kecantikan, dan segala macam bentuk kebanggaan keduniaan. Anak juga harus bisa menjadi pribadi sebagaimana yang akan dijelaskan pada kedudukan anak yang terakhir.
 Keempat, adalah anak sebagai Qurrata A’yun ( penyejuk mata  atau penyenang hati). Hal ini dijelaskan dalam Q.S Al Furqon ayat 74, yang artinya: “Dan orang-orang yang berkata”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai Qurrata A’yun  (penyenang hati (kami)) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”  
Anak akan menjadi penyejuk mata (Qurrata A’yun bagi orang tuanya ialah tatkala anak menjadi pribadi yang sholeh/sholehah, gemar melakukan ibadah, dan berbagai perbuatan baik lainnya. Anak kategori yang keempat ini kelak akan menjadi amal jariah bagi kedua orang tuanya, hal ini sejalan dengan hadits nabi Muhammad SAW “jika telah meninggal anak adam maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, serta anak sholeh yang selalu mendo’akannya.
Orang tua mana yang tidak menginginkan anak dengan kategori yang keempat ini. Namun untuk menjadikan anak sebagai Qurrata A’yun tentunya bukanlah perkara mudah. Anak haruslah dididik sedari kecil dengan ajaran agama dan pola didik yang tepat. Hal ini penting sebab agama merupakan pondasi awal pembentukan keperibadian yang islami. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tips-tips yang diajarkan Sayyidina Ali r.a sebagai berikut.
Sayyidina Ali radiallahu ‘anhu membagi periode kembang anak dalam beberapa periode sebagai berikut, yakni 0-7 tahun, 7-14 tahun, dan 14-21 tahun. Pada usia 7 tahun pertama perlakukanlah anak sebagai raja. Ada beberapa zona yang harus diperhatikan pada periode ini yaitu jangan mudah  marah-marah terhadap anak, jangan banyak larangan. Fahamilah bahwa anak pada periode ini masih dalam kategori anak-anak, ketahuilah bahwa saat ini yang sedang berkembang pada si anak tersebut adalah otak kanannya, wajar jika salah.
Pada periode kedua perlakukanlah anak layaknya pembantu atau tawanan. Pada fase inilah anak harus diajarkan kemandirian seperti mencuci pakaian sendiri, mencuci piring, menyetrika pakaian dan sebagainya. Disamping itu ajarkan pula anak untuk disiplin dalam melaksanakan rukun-rukun islam seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Pemberlakuan reward and punishment dapat diberlakukan pada periode ini, hal ini diharapkan agar anak terpacu untuk selalu mandiri dan disiplin beribadah kepada Allah SWT.
Selanjutnya pada periode ketiga, perlakukanlah anak layaknya sahabat. Pada periode ini anak sudah dapat diberikan kebebasan menentukan jalannya sendiri. Posisikan orang tua sebagai sahabat tempat anak berkeluh kesah. Hal ini agar terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.

Dengan pembagian periode kembang anak menjadi tiga periode  tersebut diharapkan anak dapat menjadi pribadi yangdidambakan, baik secara akhlak , agama, maupun intelektualnya. Dengan ini, anak akan siap menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri maupun bagi orang disekitarnya. Dan yang terpenting anak akan dapat menjadi Qurrata A’yun bagi kedua orang tua. Bukan hanya menjadi perhiasan dunia semata, namun dapat pula menjadi bekal orang tua tatkala di akhirat kelak.