Thursday 29 March 2018

Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam dan Peradaban.

Sumber Foto : http://daddhans75.blogspot.co.id/2014/


Dalam sebuah hadits riwayat Baihaqi, Nabi Muhammad SAW bersabda “ Kun ‘Aaliman, aw Muta’alliman, aw Mustami’an, Aw Muhibban, wala takun Khamisan, Fatahlik” (H.R Baihaqi). Hadits diatas berisi empat perintah yang diantaranya menjadi ‘Aliman, atau Muta’lliman, atau Mustami’an, atau menjadi Muhibban dalam konteks ilmu pengetahuan. Sebaliknya kita dilarang menjadi yang kelima atau tidak menjadi yang empat tersebut, “fatahlik”, maka kamu akan celaka.

Menjadi ‘Aaliman artinya kita diperintahkan menjadi orang yang berilmu, seperti menjadi guru, dosen, ustad, kiayi atau berbagai bentuk tenaga pendidik lainnya. Jika tidak menjadi ‘Aaliman, maka kita diperintahkan menjadi Muta’alliman. Menjadi Muta’alliman memiliki makna bahwa kita diperintahkan untuk menjadi penuntut ilmu seperti menjadi siswa, mahasiswa, atau santri di sekolah-sekolah dan pondok pesantren. Jika tidak menjadi dua yang diatas, maka jadilah Mustami’an atau pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik dapat dilakukan dengan senang mendengarkan majelis-majelis keilmuan, tausyiah, atau seminar-seminar keilmuan.

Terdapat perbadaan antara menjadi muta’alliman dengan menjadi mustami’an. Kalau muta’alliman, ia akan mencatat segala apa yang didengarnya. Sedangkan mustami'an, Ia hanya akan mendengarkan saja dan menggunakan akalnya untuk menyerap apa yang didengarnya tersebut. Tentu menjadi Muta’alliman adalah yang lebih baik. Selanjutnya, jika tidak bisa menjadi ‘Aaliman, Muta’alliman, atau Mustami’an, setidaknya jadilah Muhibban, yaitu pecinta ilmu. Pecinta ilmu dapat dilakukan dengan menyukai orang yang ‘Aalim, tidak menjadi pembenci majelis-majelis ilmu atau bahkan menjadi donator bagi terselenggaranya majelis-majelis keilmuan tersebut.

Dari keempat tingkatan keilmuan diatas, tentu ‘Aaliman adalah yang terbaik. Dengan menjadi ‘Aaliman, sejatinya kita telah melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada orang lain. Ilmu yang dipelajari tidak hanya menjadi santapan pribadi, tapi juga menjadi manfaat untuk setiap orang yang menerimanya. Bukankah ilmu yang bermanfaat adalah amal jariah?. Ilmu yang bermanfaat tidak akan putus pahalanya bahkan hingga hayat tak ditanggung badan.

Sebaliknya, kita dilaknat dengan kata “celaka” jika tidak menjadi yang empat tersebut. Sebab, dalam menjalani kehidupan di dunia dan untuk memperoleh bekal di akhirat, ilmu adalah aset berharga yang harus senantiasa dimiliki . Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya “ Siapa yang menghendaki dunia maka dengan ilmu, dan siapa yang menghendaki akhirat maka dengan ilmu, dan siapa yang menginginkan keduanya harus dengan ilmu pula (H.R Tabrani)”. Kita tidak akan bisa menjadi dokter, guru, wartawan, dan menjadi hakim tanpa mempelajari bidang ilmunya. Begitu pula ketika beribadah, amalan hanya akan menjadi sia-sia jika ibadah tersebut hanya ikut-ikutan tanpa dasar ilmu pengetahuan. Bukankah banyak orang yang sholat tetapi tidak faham apa yang dibacanya, sehingga sholatnya tersebut tidak memberikan pengaruh positif bagi kehidupannya. Banyak pula orang yang beribadah, namun ibadahnya tersebut malah menjerumuskan mereka kepada kesesatan. Semua itu disebabkan oleh kefakiran atas ilmu dari ibadah yang mereka jalani. Ilmu dapat menjadi tolak ukur status dan kedudukan seseorang. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki maka semakin tinggi pula status dan kedudukan seseorang di masyarakat. Di dalam Al-Qur’an Surah AL-Mujadalah juga dikatakan bahwa “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S. al-Mujadalah : 11)”.

Peradaban Islam pernah berada dalam masa keemasan, salah satunya pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan masa itu. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya tokoh-tokoh ilmuan yang tak hanya terbatas dalam ilmu agama saja, tapi mencakup segala aspek ilmu pengetahuan umum. Di bidang ilmu hadits, lahir Imam Bukhari dengan kitab Shahih Bukharinya, Imam Muslim dengan kitab Shahih Muslim, Abu Dawud dengan kitab Sunan Abu Daud, Ibnu Majah dengan kitab Sunan Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi dengan kitab Sunan Tirmidzinya.

Dibidang ilmu Matematika lahir pula Al-Khawarizmi (194-266 H). yang menyusun buku Aljabar dan menemukan angka nol (0). Ada pula Ibnu Ruysd yang merupakan ahli filsafat yang dikenal dengan sebutan bapak Rasionalisme. Dia terkenal sebagai ahli ilmu hayat, ilmu fisika, ilmu falak, ilmu akhlak dan juga ilmu kedokteran. Karyanya antara lain : Fasul Maqal fima Baina al Hikmati Wasyari’at Minal Ittisal, Bidayatul Mujtahid, Tahafutut Tahafud, dan Fikih. Karangan beliau hingga kini masih banyak dijumpai di perpustakaan Eropa dan Amerika. Tidak kalah pula di bidang ilmu kedokteran, lahir Ibnu Sina dengan karyanya “Al-Qanun Fi Al-tib” yang dijadikan buku pedoman kedokteran di Universitas-universitas Eropa maupun negara-negara Islam.

Tahun 721 Hijriah, lahir Ibnu Hayyan yang merupakan ilmuan kimia. Penemuan pentingnya adalah proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan atau fiksasi, dan amalgamasi. Karya terbesarnya adalah kitab al-Kimya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of The Composition of Alchemy oleh Robert Chester pada tahun 1444 Masehi. Atas dasar Karyanya tersebut, maka muncullah nama kimia yang digunakan hingga saat ini. Dengan berbagai penemuannya tersebut maka tidak heran jika Richard Russel pernah menyebut Ibnu Hayyan sebagai penemu ilmu kimia dan bapak kimia modern.

Kejayaan islam dengan segenap karya-karya keilmuannya tidak terlepas dari giatnya umat islam pada masa itu dalam menggali ilmu pengetahuan demi kemajuan suatu peradaban di masanya. Usaha yang giat tersebut menjadikan mereka sebagai sosok yang disegani dan dihargai karya-karyanya hingga sekarang. Hal tersebut sangatlah berbeda dibandingkan dengan generasi islam masa kini yang acuh tak acuh terhadap ilmu pengetahuan. Jangankan untuk menggali, untuk membacanya saja enggan. Generasi muda islam lebih disibukkan dengan pengaruh game online dan dunia percintaan yang menyebabkan turunnya daya kritis dan kreatifitas diantara mereka. Akibatnya, umat ini terus mengalami kemunduran yang terlampau jauh dibandingkan umat-umat lainnya. Jika pada masa dahulu, pusat Ilmu pengetahuan berkiblat di dunia islam, di Baghdad dan di Andalusia, maka sekarang kiblat tersebut telah mengalami pergeseran ke dunia barat. Hasilnya, umat islam menjadi umat yang tertinggal, menjadi umat yang dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Sebab itu, hendaklah kita senantiasa menjadi pegiat ilmu sesuai bidang yang kita tekuni masing-masing. Sebab dengan ilmu pengetahuan, Allah akan meninggikan derajat kita, dan dengan ilmu pengetahuan pula akan lahir peradaban yang maju, yang memberikan maslahat bagi umat.