Sumber Gambar : http://www.flickr.com/photos/23065375@N05/2234742005/
Indonesia adalah negeri yang kaya gemah ripah loh jinawi, katanya. Kekayaan Indonesia membentang dari sabang hingga meraoke, yang tidak hanya terbatas pada kekayaan di wilayah daratannya saja tapi juga mencakup kekayaan hasil lautnya. Indonesia memiliki 17. 504 jumlah pulau dengan total luas Negara yang mencakup daratan dan lautannya sebesar 5.193.250 km². Hal ini menempatkan Indonesia sebagai Negara terluas ketujuh setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil dan Australia. Perairan laut Indonesia sendiri memiliki luas sebesar 5,8 juta km² dilengkapi dengan batas-batas teritorialnya sepanjang 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil laut. Luasnya laut Indonesia ini memiliki keberkahan tersendiri bagi rakyat Indonesia sebab dengan laut yang luas tersebut, Indonesia memiliki begitu banyak kekayaan alam yang dapat dikelola untuk kesejahteraan rakyat.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Rifky Effendy Hardijanto, mengatakan, potensi kekayaan hasil laut di Indonesia mencapai Rp15.000 triliun. Dengan Kekayaan alam bawah laut yang sebesar itu seharusnya telah dapat mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun disayangkan, potensi yang besar tersebut masih belum mampu dimanfaatkan disebabkan keterbatasan kapal-kapal dan fasilitas alat tangkap yang dimiliki nelayan Indonesia. Sebab itu, diperlukan perhatian serius dari pemerintah dengan penyediaan fasilitas dan alat tangkap sehingga dapat membantu masyarakat untuk mengeksploitasi kekayaan alam bawah laut yang berlimpah ruah ini. Hal ini agar nelayan dapat terangkat perekonomiannya. Sebut saja seperti Negara Jepang misalnya, Perairannya tidak cukup luas dibandingkan perairan laut Indonesia, tapi berkat dukungan penuh pemerintahnya baik dari sisi regulasi maupun dari sisi kebutuhan produksi yang di jamin oleh Negara, Nelayan Jepang dapat jauh lebih makmur perekonomiannya dibanding nelayan Indonesia.
Indonesia juga memiliki kekayaan wilayah daratan yang meliputi kekayaan flora, fauna, barang tambang, serta tempat wisata yang mengagumkan. Negara ini memiliki tambang dengan kualitas emas terbaik. Sebut saja tambang emas PT Freeport yang ada di papua misalnya. Perusahaan ini adalah perusahaan asing yang telah mengeksploitasi kekayaan emas Indonesia sejak tahun 1967 hingga sekarang. Disamping itu, Indonesia juga memiliki tambang batu bara yang terletak di pulau Kalimantan dan Sumatera yang dikelola oleh perusahaan dalam negeri, PT Bukit Asam. Untuk pemenuhan bahan bakar, Indonesia memiliki pula cadangan gas alam yang terdapat di Blok Natuna dan Blok Cepu serta Indonesia juga memiliki hutan hujan tropis yang sangat hijau dan lebat yang memegang peranan sebagai paru-paru dunia serta untuk menjaga keseimbangan alam di dunia ini. Hutan tropis Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna yang berlimpah, lengkap dengan flora dan fauna endemiknya.
Hal ini tentu amat mengherankan ketika masih terjadi kesenjangan sosial di negeri yang kaya akan hasil laut dan daratan ini. Jika arab Saudi mampu menjadi Negara yang kaya raya hanya dengan mengandalkan cadangan minyak buminya saja, lantas mengapa kita yang dianugerahi segala macam keberkahan, kekayaan alam yang berlimpah ruah di darat dan di lautan, dan dengan sumber daya manusia yang begitu banyak dan tentu tidak kalah bersaing dengan Negara luar, saat ini masih hidup dalam kemelaratan.
Sebagai Negara dengan laut yang luas, akan sangat lucu ketika Negara ini masih melakukan impor garam untuk pemenuhan kebutuhan garam warga negaranya. Dikutip dari laman berita CNN Indonesia tertanggal 19 Januari 2018, Pemerintah memutuskan untuk mengimpor garam industri sebanyak 3,7 juta ton demi memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Sebagai Negara maritim, kebijakan ini tentu terasa sangat janggal di telinga kita. Kebutuhan garam yang seharusnya dapat diusahakan pemenuhannya di dalam negeri malah harus impor hingga ke luar negeri dengan segala macam dalih yang tidak dapat penulis terima. Pemerintah seharusnya mampu mendorong serta memfasilitasi petani garam untuk menjadi pemasok kebutuhan garam lokal dengan kualitas yang baik sehingga pasokan garam terpenuhi, bukan malah mematikan semangat petani garam Indonesia dengan kebijakan impor tersebut.
Tidak kalah lucu dengan kebijakan impor garam, rezim ini juga menerapkan kebijakan impor beras. Meskipun Kementerian Pertanian sudah memastikan pasokan beras hingga masa panen pada Maret 2018 masih dalam batas aman, Kementerian Perdagangan tetap melakukan impor beras sekitar 500 ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand. Kebijakan impor beras ini serasa bertolak belakang dengan kenyataan swasembada beras yang pernah dilakukan pada zaman orde baru dulu.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Enny Sri Hartati kepada VOA, Senin (15/1) mengatakan kebijakan impor yang dilakukan pemerintah menjelang panen raya ini akan sangat merugikan petani. Apalagi beras jenis khusus yang diimpor pemerintah itu akan dijual dengan harga medium sehingga berpotensi merusak harga beras di pasaran. Enny juga mempertanyakan alasan pemerintah yang mengimpor beras jenis khusus padahal menurutnya mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras medium.
Menurut hemat penulis, dua kasus impor diatas merupakan bentuk ketidakmampuan dan kegagalan pemerintah dalam mengola Negara yang katanya kaya gemah ripah loh jinawi ini. Bagaimana mungkin dengan laut yang luas, dengan tanahnya yang subur dan luas pula, Indonesia masih saja menerapkan kebijakan impor garam dan beras untuk pemenuhan kebutuhan warga negaranya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di benak penulis tentang apa saja yang telah dikerjakan oleh pemimpin rezim ini sampai mengurus masalah garam dan beras saja tidak mampu.
Tak cukup sampai disitu kekecewaan penulis. Di zaman ini, rakyat yang tercekik dengan kebijakan yang tidak pro rakyat kecil, ditambah lagi penderitaannya dengan kebijakan pemerintah yang memberikan kemudahan masuknya tenaga kerja asing di Indonesia. Masuknya tenaga kerja asing tersebut memberikan dampak buruk terhadap rakyat Indonesia yang saat ini masih banyak dalam status pengangguran disebabkan sulitnya memperoleh pekerjaaan di negeri sendiri. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017. Pengangguran di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 1000 orang dibandingkan Agustus tahun 2016 sebelumnya yang hanya sebesar 7,03 juta orang. Hal ini menimbulkan polemik di masyarakat. Negara yang seharusnya menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuknya warga negaranya, malah membuat kebijakan untuk mempermudah masuknya tenaga kerja asing di Indonesia. Memang, tak ada makan siang yang gratis. Air susu tentu harus diganti pula dengan air susu, atau dengan yang lebih baik untuk menyenangkan pemberinya.
Kebijakan ini tentu memiliki kaitan pula dengan kebijakan hutang luar negeri terhadap Negara yang bersangkutan. Nyatanya, di rezim ini kita tak hanya melakukan impor pangan, dan impor investor asing saja, namun impor pula tenaga-tenaga kerjanya. Dan sebagai tuan rumah, kita hanya mampu menjadi jongos di negeri kita sendiri. Sumber daya alam di eksploitasi oleh asing. Disamping itu , tenaga kerja kita pun harus turut bersaing dengan tenaga kerja asing di tanah air kita sendiri. Jika kebijakan impor ini terus dilakukan, bisa jadi di masa depan, segala komoditi, segala produk dan pangan bahkan sumber daya manusia Indonesia akan didominasi oleh asing. Dan anak cucu kita hanya bisa melihat dan mengelus dada, kecewa atas kebodohan yang dilakukan pendahulunya. Sebab nyatanya, Indonesia adalah negeri yang kaya raya, tapi kok malah senang impor?.
Monday, 2 April 2018
Subscribe to:
Posts (Atom)