Baru-baru ini umat islam sedang dibenturkan oleh fenomena saling membid’ahkan, dan saling menyalahkan amalan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berbeda kelompok dengannya. Hal ini tak pelak menimbulkan gesekan-gesekan yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam itu sendiri. Akibatnya, muncullah aksi-aksi pembubaran pengajian oleh kelompok yang tidak sefaham, saling hujat di media sosial, dan berbagai bentuk permusuhan lainnya.
Hal semacam ini sepatutnya tidak terjadi di kalangan umat islam yang masih dalam naungan ahlu sunnah wal jama’ah, yang jika terdapat perbedaan sekalipun masih dalam ranah ikhtilaf dan khilafiah. Sebagian ulama ada yang menyamakan definisi ikhtilaf dan khilafiah ini, namun sebagain pula ada yang membedakan. Ikhtilaf sendiri diartikan sebagai perbedaan dengan dalil, sedangkan khilafiah diartikan sebagai perbedaan tanpa dalil. Pada intinya, baik ikhtilaf ataupun khilafiah memiliki makna bahwa masih terdapat perbedaan pendapat ulama dalam memahami masalah tertentu. Sehingga kurang pas jika masalah ikhtilaf dan khilafiah ini dijadikan dalil untuk saling menyalahkan dan membid’ahkan golongan lain yang tidak sefaham.
Masalah ikhtilaf dan khilafiah ini tidak hanya terjadi di masa sekarang, namun turut pula terjadi di masa-masa sahabat, serta ulama-ulama terdahulu. Singkatnya kita mengenal empat Imam Mazhab yang berbeda seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, serta Mazhab Syafi’i. Masing-masing mereka sering terjadi perbedaan pendapat, namun perbedaan tersebut tidak lantas menjadi hujjah untuk saling menyalahkan dan membid’ahkan pendapat imam yang lain. Imam-imam diatas telah memberikan contoh yang baik dalam memahami perbedaan pendapat, mereka saling menghargai satu sama lain sebagaimana dijelaskan pada kisah-kisah pertemuan imam antar mazhab berikut dan bagaimana pendapat mereka terhadap imam yang lain.
Dikutip dari buku 37 masalah populer karangan Ustad Abdul Shomad, Lc., M.A bahwa Imam al-Laits bin Sa’ad berkata, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya, ‘Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’. Imam Malik menjawab, “Saya merasa tidak punya apa-apa ketika bersama Abu Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqh wahai orang Mesir (Imam al-Laits)”. Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya, “Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya belum pernah melihat orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik” (Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Juz.I, hal.36).
Begitu pula komentar Imam Hanbali terhadap Imam Syafi’I. Abdullah putra Imam Hanbali berkata, “Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafi’i itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hanbali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafi’i seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?!” (Al-Hafizh al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,juz.XXIV (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1400), hal.372 ).
Imam-imam mazhab terdahulu begitu memegang adab terhadap yang berbeda pandangan dengannya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak membuat mereka menjadi ego atas pendapat mereka sendiri, apalagi hingga menciptakan permusuhan antar mereka. Seperti adab Imam Syafi’I terhadap Imam Hanafi ketika melaksanakan shalat subuh ditempatnya Imam Hanafi. “ Suatu ketika Imam Syafi’i melaksanakan shalat Shubuh, lokasinya dekat dari makam Imam Hanafi. Imam Syafi’i tidak membaca doa Qunut karena beradab kepada Imam Hanafi “.
Begitu pula adab Imam Malik yang ketika bermusyawarah dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid terkait peletakan kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik. ” Imam Malik Berkata : Khalifah Harun ar-Rasyid bermusyawarah dengan saya, beliau ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) di Ka’bah, beliau ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab al-Muwaththa’. Saya katakan, “Jangan lakukan! Sesungguhnya para shahabat Rasulullah Saw telah berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka juga telah menyebar ke seluruh negeri, semuanya benar dalam ijtihadnya”. Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Allah memberikan taufiq-Nya kepadamu wahai Abu Abdillah (Imam Malik)” (Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hulyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Juz.VI (Beirut: Dar alKitab al-‘Araby), hal.332. ).
Sikap Imam Mazhab diatas sepatutnya dapat dicontoh oleh generasi sekarang. Dalam menyikapi masalah Ikhtilaf dan Khilafiah, hendaknya dapat saling menghargai perbedaan tersebut, bukannya dengan saling menghujat. Hal ini agar tercipta kerukunan antar sesama umat Islam, umat tidak saling terpecah belah. Pada hakikatnya, umat islam akan kuat jika bersatu dan akan menjadi lemah jika bercerai-berai. Firman Allah dalam Alqur’an : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)”.
No comments:
Write comments