Thursday 23 November 2017

Sekolah Laskar Pelangi di Dusun Sampang


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) rumusan pasal 33 ayat 3 secara gamblang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata makmur sendiri memiliki makna banyak penduduk yang sejahtera, serba berkecukupan, dan tidak berkekurangan
( Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia ). Artinya, dengan penguasaan kekayaan alam yang berlimpah ruah ini, Negara harus mampu memanfaatkan kekayaan alam tersebut guna menyejahterakan rakyatnya, sehingga masyarakat dapat cukup sandang, pangan, papan, serta yang tak kalah penting yaitu kebutuhan pendidikan.

Seringkali membuat geram jika melihat realita yang terjadi atas pengamalan rumusan UUD pasal 33 ayat 3 ini. Bagaimana tidak, kekayaan alam yang berlimpah ruah bukannya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, namun diperjualbelikan untuk kepentingan kapitalis dan elit politis. Sebagai Negara tropis, Indonesia memiliki hutan paru-paru dunia yang kaya akan sumber daya alamnya. Belum lagi kekayaan tambangnya, minyak bumi, emas, intan, dan batu permata, sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahkan duniapun juga telah mengakui. Belum lagi hasil laut Indonesia yang menyumbang 10 % kebutuhan perikanan global (sumber : katadata.co.id/infografik/2017/02/13/potensi-besar-laut-indonesia ). Ini menimbulkan pertanyaan besar jika masih saja terjadi ketimpangan sosial di negeri yang kaya raya ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2017, penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Meskipun persentase di tahun 2017 ini mengalami penurunan, namun jumlah angkanya terus bertambah. Hal ini bermakna, masih terdapat 27,77 juta warga Negara Indonesia yang belum merasakan kesejahteraan, kemakmuran hidup seperti yang diamanahkan konstitusi.

Kemakmuran rakyat erat pula kaitannya dengan tingkat pendidikan, konstitusi kita sebetulnya telah memprioritaskan kebutuhan dasar yang satu ini. Hal tersebut tertuang dalam rumusan pasal 31 ayat 1-5 UUD 1945 lengkap dengan anggarannya pula, tidak tanggung-tanggung 20 % dari APBN dan APBD. Tapi apakah amanat konstitusi ini telah dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah?. Jika ditelisik kembali, nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum tersentuh pendidikan, masih banyak sekolah-sekolah yang setengah rubuh, yang tidak layak guna. Penulis menyebut kondisi ini mirip semacam sekolah laskar pelangi dalam novel garapan Andrea Hirata.

Kisah nyata yang dialami oleh penulis sendiri ketika melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) FMIPA Universitas Tanjungpura beberapa bulan yang lalu. Pada saat itu, kebetulan kami ditugaskan di Desa Teluk Empening, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya. Desa ini memiliki 3 dusun yang diantaranya Dusun Sampang, Dusun Kelola Jaya, dan Dusun Tanjung Harapan. Sebagai akademisi, kami menyempatkan untuk mengajar di salah satu Madrasah Ibtidaiyah, di Dusun Sampang.

Siang itu, setiba di Madrasah Ibtidaiyah, kami disambut oleh riang tawa anak-anak kecil yang berlarian bermain di halaman madrasah. Diantara mereka ada yang berseragam sekolah lengkap, namun ada pula yang tidak berseragam sekolah, tidak beralas kaki. Saat kedatangan kami, belum ada satupun guru yang datang, padahal waktu telah menunjukkan bahwa proses kegiatan belajar mengajar seharusnya telah dimulai. Setelah menunggu beberapa saat, seorang bapak-bapakpun menghampiri kami, ia adalah salah seorang dari tiga guru yang mengajar di madrasah ibtidaiyah ini.
Dari penuturan beliau, madrasah ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak di Dusun Sampang. Yang mengajar disini pun adalah guru-guru yang secara sukarela menyempatkan sedikit waktu disamping kesibukan kerjanya yang lain. Beberapa diantaranya ada yang bekerja di kantor urusan agama (Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah), dan ada juga yang bekerja sebagai guru tetap di salah satu sekolah dasar lain yang ada di Desa Teluk Empening ini.

Secara fisik. madrasah ini berdindingkan papan, dengan 3 ruangan kelas untuk belajar mengajar, sedangkan ruangan lainnya digunakan sebagai ruang guru. Seperti kebanyakan sekolah dasar lainnya, madrasah ini juga mempunya enam jenjang tingkatan kelas. Artinya, untuk pememenuhan kebutuhan belajar mengajar di ruangan yang serba terbatas, di madrasah ini, satu ruangan dipakai untuk dua tingkatan kelas. Hal yang membuat penulis berfikir, bagaimana proses belajar mengajarnya? Efektifkah kegiatan belajar mengajar dengan kondisi semacam itu?.

Diungkapkan oleh seorang guru lainnya, madrasah ini dibangun atas dasar prihatin terhadap kondisi beberapa anak-anak di Dusun Sampang yang tidak mendapatkan akses pendidikan, disebabkan mereka lebih memilih membantu orang tua berkerja pada waktu dini hari hingga pagi harinya. Seusia mereka telah terbiasa bekerja membantu orang tua di kebun karet. Atas dasar itulah proses belajar mengajar di madrasah ini dilakukan pada siang hari. “Asal mau belajar sajalah mereka ini, sebab itu tidak masalah jika tidak berseragam, beralas kaki” tutur guru tersebut.

Mengajar 2 tingkatan kelas dalam satu waktu bukanlah sebuah perkara yang mudah. Ketidak efektifan belajar mengajar sudah pasti menjadi jawaban atas kondisi ini. Apa lagi ketika hanya ada seorang guru yang datang pada hari tersebut, tentu akan lebih menyulitkan. Seorang guru mengajar enam tingkatan kelas sekaligus dalam satu waktu. Hasilnya tentu jauh dari kata berhasil, untuk beberapa siswa kelas lima SD, di madrasah ini masih ada yang belum lancar hitung menghitung. Ini wajar dengan pola pembelajaran demikian.

Hal tersebut menyulitkan mereka ketika melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, sekolah menengah pertama (SMP). Beberapa anak lulusan madrasah ini, mengalami kesulitan bersaing dengan teman-temannya yang lain ketika memasuki jenjang SMP. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang guru madrasah itu sendiri. Ditambah lagi beberapa diantara mereka ada yang masih sulit menggunakan Bahasa Indonesia. Mereka masih begitu kental menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Madura. Sebab itu, penekanan penggunaan Bahasa Indonesia di kelas untuk siswa di madrasah ini sangat amat diprioritaskan disamping mempelajari mata pelajaran yang lain.

Setelah sekian lama berbincang-bincang, kami pun memohon izin untuk melakukan proses belajar mengajar. Tim yang berjumlah enam orang kami bagi di tiga ruangan kelas, masing-masing ruangan kelas diisi dengan dua orang pengajar. Metode pengajarannya pun dilakukan sama seperti yang dipraktekkan oleh guru di madrasah ini. Waktu belajar mengajar dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama kami harus memilih salah satu dari dua tingkatan kelas yang akan diajar terlebih dahulu. Sebab, meskipun kami berdua di ruangan ini, sangat tidak mungkin jika kami beradu suara dan berebut papan tulis di ruangan sempit tersebut.

Proses belajar mengajarnya dilakukan dengan sedikit menerangkan materi pelajaran untuk kemudian memberikan latihan soal. Di sela –sela mereka mengerjakan latihan soal tersebutlah, kami gunakan untuk mengajar tingkatan kelas yang lain hingga menjelang waktu sore, tanda kelas bubar. Dari rentang pukul satu hingga pukul lima sore, kami hanya dapat melakukan transfer ilmu dalam waktu dua jam untuk setiap kelasnya. Terasa sangat singkat, dan hanya inilah yang bisa kami dan guru-guru madrasah ini berikan di tengah keterbatasan fasilitas dan tenaga pengajar.

Demikianlah gambaran singkat yang kami rasakan ketika melakukan pengabdian kepada masyarakat di desa terpencil, yang luput dari perhatian pemerintah. Pendidikan dasar sembilan tahun yang sepatutnya menjadi hak warga Negara yang dijamin konstitusi, ternyata masih belum disentuh dengan baik dan merata oleh mereka yang tinggal di sudut-sudut perkampungan, di desa-desa terpencil. Kisah diatas merupakan fenomena puncak gunung es. Sedikit yang tampak, namun sebenarnya ada lebih banyak kisah-kisah serupa yang luput dari perhatian, atau mungkin saja ada yang lebih parah dari kisah diatas di negeri yang katanya kaya gemah ripah loh jinawi ini. Semoga tulisan ini dapat menggugah hati pemimpin-pemimpin, terkhusus bagi diri kita sendiri sebagai akademisi, agar dapat lebih memperhatikan dan peduli terhadap kebutuhan pendidikan saudara-saudara kita yang tinggal di pedalaman pedesaan. Sebab pendidikan adalah bekal yang menentukan akan dibawa kemana bangsa ini ke depan.

    Choose :
  • OR
  • To comment
No comments:
Write comments