Thursday, 24 May 2018
Undang-Undang Terorisme Harus Dirumuskan Secara Berkeadilan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintah pusat, saat ini sedang merumuskan revisi rancangan undang-undang (RUU) terorisme yang akan mendukung kinerja kepolisian dalam menumpas paham terorisme di Indonesia. RUU yang sedang direvisi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Dengan adanya revisi Undang-undang tersebut diharapkan agar kepolisian dapat melakukan tindakan preventif atau pencegahan terhadap tindak pidana terorisme yang massif terjadi. Hal ini disebabkan, saat ini kepolisian hanya dapat bergerak setelah adanya aksi terorisme dikarenakan tidak adanya payung hukum untuk mendukung upaya preventif tersebut.
Pengesahan revisi undang-undang terorisme nomor 15 tahun 2003 ini terjadi penundaan disebabkan tidak adanya kesepakatan terkait definisi terorisme yang menjadi tugas pemerintah dalam perumusannya. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, DPR sebenarnya 99 persen sudah siap ketuk palu sebelum reses masa sidang yang lalu. Namun pihak pemerintah minta tunda karena belum adanya kesepakatan soal definisi terorisme. Begitu definisi terorisme terkait motif dan tujuan disepakati, RUU tersebut bisa dituntaskan.
Sebab itu, diperlukan kesepakatan terkait definisi terorisme tersebut agar Revisi RUU ini dapat segera dirumuskan dan disahkan. Namun, perumusan revisi undang-undang ini harus senantiasa memperhatikan aspek-aspek keadilan sosial di masyarakat sehingga dalam prakteknya, undang undang nomor 15 tahun 2003 ini, tidak dijadikan alat rezim untuk menumpas yang tidak sefaham dengan pemerintah secara serampangan. Sebab itu, keterburu-buruan tanpa pertimbangan yang matang dalam perumusan sangat tidak dianjurkan disebabkan harus memperhatikan aspek keadilan diatas agar tidak menjadi alat kriminalisasi di masa mendatang. Definisi terorisme ini harus dirumuskan secara benar dan berkeadilan sehingga tidak merugikan satu pihak tertentu khususnya umat islam. Sebab faktanya, ketika terjadi upaya teror, penyanderaan , pembunuhan serta intimidasi oleh sekelompok orang selain dari kalangan islam, seperti yang dilakukan oleh OPM misalnya, yang mereka bukan hanya melakukan tindakan intimidasi terhadap Polisi dan TNI saja, namun juga terhadap masyarakat sipil, jarang sekali digaungkan istilah terorisme tersebut terhadap mereka. Disamping itu, upaya terror terhadap penegak hukum seperti yang terjadi pada penyidik KPK Novel Baswedan, juga luput dari istilah terorisme tersebut, serta masih banyak lagi kasus-kasus teror yang terjadi di negeri ini yang luput dari istilah terorisme.
Di luar negeripun demikian. Ketika etnis Rohingya diusir serta dibunuh oleh sekelompok oknum biksu, ketika umat islam di bantai di afganistan oleh tentara Amerika, dan ketika saudara muslim di Palestina mendapat intimidasi, pengusiran serta pembuhan oleh Militer Israel, kemana istilah terorisme tersebut? Kenapa istilah tersebut luput dari media?. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, kenapa hanya islam yang dilabeli dengan istilah teroris. Siapa dan seperti apakah yang dapat dikatakan sebagai teroris?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipaparkan pengertian apa itu teroris dan istilah terorisme dari berbagai sumber. Menurut FBI, terorisme adalah "The unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a Government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." Atau Penggunaan kekuatan dan kekerasan yang tidak sah terhadap orang atau properti untuk mengintimidasi atau memaksa suatu Pemerintah, penduduk sipil, atau segmen apa pun darinya, sebagai kelanjutan tujuan politik atau sosial. Sedangkan menurut United State Departement of Defense (Departemen Pertahanan Amerika Serikat), terorisme didefinisikan sebagai "Calculated use of unlawful violence to inculcate fear; intended to coerce or intimidate governments or societies in pursuit of goals that are generally political, religious, or ideological." atau jika diartikan, terorisme dihitung sebagai penggunaan kekerasan yang melanggar hukum untuk menanamkan rasa takut. Dimaksudkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dalam mencapai tujuan yang pada umumnya bersifat politis, religius, atau ideologis.
Definisi terorisme ini harus dirumuskan secara jelas agar tercipta keadilan di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu definisi terorisme yang tidak multitafsir untuk menghindari subjektivitas aparat dalam penanggulangan terorisme. Sebab, jika tidak ada kepastian dalam UU Terorisme, maka akan berakibat fatal bagi penegak hukum saat melakukan penindakan, seperti kasus salah tangkap disebabkan tidak dibekali alat bukti yang cukup terhadap target yang disasar.
Tuesday, 15 May 2018
Aksi Terorisme di Gereja, Bukan Bagian dari Jihad
Jika ada yang bertanya tentang konsep jihad dalam islam maka sampaikanlah bahwa jihad adalah adalah bagian dari syari’at islam,dan katakan pula pada mereka bahwa jihad itu tidak seburuk apa yang diprasangkakan media saat ini. Jihad adalah amalan utama bagi umat islam yang menjadi sebab kokoh serta mulianya umat ini. Tanpa konsep jihad, mana mungkin agama islam akan bertahan dan menjadi penerang zaman hingga sekarang, serta tanpa jihad pula mana mungkin kejahiliaan bangsa arab akan sirna dan berganti dengan peradaban yang sebaik-baiknya peradaban. Peradaban yang membawa umat dari zaman kegelapan, zaman yang membenarkan seorang bapak membunuh anak perempuannya sendiri, zaman ketika anak perempuan menjadi aib keluarga, zaman dimana yang kuat secara fisiklah yang berkuasa, yang kuat menindas yang lemah, yang mayoritas menindas minoritas, menuju zaman terang benderang, zaman tanpa diskriminasi.
Dari sisi bahasa, jihad berasal dari kata “jahada” atau ”jahdun” yang berarti “usaha” atau “juhdun” yang berarti kekuatan. Dalam hal ini arti arti jihad secara bahasa dapat dimaksudkan dengan mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini bahwa jalan itulah yang benar. Menurut Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi Saw ia berkata, secara bahasa jihad berarti “mencurahkan segenap kekuatan dengan tanpa rasa takut untuk membela Allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang memusuhi”. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jihad itu hakikatnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhoi Allah berupa amal shalih, keimanan dan menolak sesuatu yang dimurkai Allah berupa kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Amalan jihad hanya dilakukan oleh mukmin yang memiliki kesungguhan dan jiwa militansi terhadap agamanya. Mustahil jika amalan jihad ini dilakukan oleh orang-orang munafik yang tidak memiliki kesungguhan hati dalam menjalankan syari’at islam.
Jihad yang merupakan bagian dari syari’at islam tentu harus dijalankan pula sesuai dengan tuntunan dari syari’at itu sendiri. Al-Quran yang merupakan panduan kehidupan umat islam telah banyak menjelaskan tentang konsep dan aturan dalam jihad. Terhitung ada 41 kali kata jihad di dalam Al-Quran, sebagian ada yang berkaitan dengan perang sebagian yang lain lagi tidak. Kewajiban amalan jihad dalam kaitan perang memiliki beberapa syarat salah satunya adalah ketika agama Islam dan kaum muslimin mendapat ancaman atau diperangi terlebih dahulu. Dalilnya adalah surah Al-Hajj ayat 39 yang artinya “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar menolong mereka itu”.
Disamping itu, jihad juga memiliki tujuan untuk mempertahankan diri, kehormatan, dan harta dari tindakan sewenang-wenang musuh, memberantas kedzaliman yang ditujukan pada umat Islam, membantu orang-orang yang lemah (kaum dhu’afa), dan mewujudkan keadilan dan kebenaran. Jihad pula memiliki adab dan aturan yang harus dita’ati oleh setiap muslim yang berjuang di jalan Allah. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, Adalah Rasulullah SAW apabila mengutus tentaranya, beliau bersabda, “Berangkatlah dengan nama Allah, berperanglah di jalan Allah terhadap orang-orang yang kufur kepada Allah, jangan melampaui batas, jangan berkhianat, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak serta penghuni-penghuni gereja (orang-orang yang sedang beribadah)”. [HR. Ahmad].
Kaitan dengan siapa dan apa yang boleh diperangi saat jihad. ulama ahli fiqih klasik membaginya menjadi dua yaitu kafir dzimmi dan kafir harbi. Kafir dzimmi adalah orang non-muslim yang melakukan perjanjian damai dengan negara Islam, tidak pernah mengganggu umat islam, mereka tidak berhak untuk diperangi. Sedangkan kafir harbi adalah kaum non-muslim yang tidak memiliki perjanjian damai dengan Islam. Tidak semuanya kafir harbi boleh untuk diperangi. Kafir Harbi seperti wanita, anak-anak, orang tua, pendeta, dan lainnya yang bukan merupakan pelaku dan ahli strategi perang dilarang untuk dibunuh kecuali jika mereka berpartisipasi dalam penyerangan terhadap umat islam.
Selain dilarang membunuh orang-orang dengan kategori diatas, dalam jihad perang, umat islam juga dilarang membunuh hewan kecuali untuk dimakan, dilarang menebang serta membakar pohon. Hal ini tertuang dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa membunuh anak kecil atau orang tua atau membakar pohon kurma atau memotong pohon berbuah atau menyembelih kambing untuk diambil kulitnya maka ia tidak akan kembali dalam keadaan dicukupkan rejekinya.”
Kaitan dengan aksi terorisme yang terjadi pada hari Minggu, 13 Mei 2018 yang dilakukan di gereja Surabaya, sejatinya merupakan penyimpangan terhadap arti dan tujuan dari jihad itu sendiri. Jihad yang merupakan amalan mulia dalam syari’at islam dikotori oleh segelintir oknum yang mengatasnamakan islam. Dalam konsep yang sebenarnya, jihad hanya dapat dilakukan ketika terjadi penyerangan terhadap umat islam serta dalam prakteknya pula, pada saat jihad umat islam dilarang untuk membunuh anak-anak dan penghuni gereja serta tempat-tempat ibadah lainnya.
Muhammad Al-Fatih dalam peristiwa penaklukan Konstantinopel (Turki) pun dalam jihadnya senantiasa menjaga dan melindungi anak-anak, penghuni gereja, serta mereka yang tidak memerangi umat islam sebagaimana tertuang dalam pidatonya saat penaklukan terjadi “Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menjadi kenyataan, dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti. Maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits tersebut, yaitu berupa kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran”.
Atas dasar itu, umat islam mengecam dan mengutuk keras atas tidakan bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Surabaya. Islam adalah ajaran rahmatan lil’alamin, ajaran yang merupakan rahmat bagi semesta alam, yang mengangkat harkat dan martabat wanita yang dahulu dibunuh dan menjadi aib bagi keluarga, kini telah dijaga kehormatannya melalui ajaran islam. Islam adalah ajaran yang menjaga minoritas, yang menghargai setiap nyawa. Ketika pada masa Rasulullah islam jaya di madinah, yahudi dan umat Kristiani dijaga serta dilindungi hak-haknya. Tidakkah kita pernah mendengar kisah Rasulullah yang senantiasa memberi makan dan menyuapi yahudi buta yang senantiasa menghinanya hari demi hari, hingga Rasulullah SAW wafat. Penghina beliau saja masih dihargai dan beliau sayangi, apa lagi bagi mereka yang senantiasa berbuat baik terhadap umat islam. maka sangat tidak layak aksi terorisme, pembunuhan oleh mereka yang mengatasnamakan umat islam tersebut.
Sunday, 6 May 2018
Ada Agenda Sekularisasi Dibalik Puisi Sukmawati
Jagat dunia maya kembali diviralkan dengan lantunan puisi yang dibawakan oleh Sukmawati Soekarnoputri. Puisi tersebut disinyalir berisi pelecehan terhadap syari’at islam yaitu mengenai cadar yang disandingkan dengan konde ibu dan suara azan yang disandingkan dengan kidung (nyanyian) ibu Indonesia. Dalam puisi yang berjudul Ibu Indonesia tersebut berisi penggalan kalimat “sari konde ibu Indonesia sangatlah indah lebih cantik dari cadar yang gerai lekukan rambutnya suci sesuci kain pembungkus ujudmu”. Disamping itu terdapat pula penggalan “Aku tak tahu syariat Islam Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia sangatlah elok,, lebih merdu dari alunan adzan mu, Gemulai gerak tarinya adalah ibadah, Semurni irama puja kepada Illahi”.
Berbicara tentang cadar, adalah bagian syari’at islam yang patut kita yakini dan hormati. Bukan malah membandingkannya dengan sari konde yang jelas bukan merupakan bagian dari syari’at islam. Cadar merupakan kain pembungkus wujud yang tak hanya berfungsi layaknya aksesoris kecantikan layaknya sari konde ibu Indonesia, namun cadar merupakan satu bentuk kepatuhan terhadap perintah Tuhan serta sebagai bagian wujud penjagaan diri seorang wanita. Cadar adalah pembeda antara wanita yang senantiasa ingin dipuja kecantikannya dengan wanita yang ingin menjaga kehormatan bagi dirinya. Pemakai cadar jauh lebih istimewa dibandingkan kata indah dan cantik itu sendiri, sebab cadar adalah kehormatan sedangkan keindahan dan kecantikan itu dapat menjadi bagian dari kesombongan.
Begitu pula ketika berbicara tentang lantunan azan. Merupakan suatu pelecehan jika lantunan azan disandingkan dengan kidung yang belum jelas bait lantunannya. Lantunan azan berisi beragam keutamaan, berbeda dengan kidung ibu yang hanya sebatas nyanyian penghibur hati semata, tak mampu memberikan manfaat akhirat baik bagi pelantunnya maupun bagi pendengarnya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, diungkapkan bahwa pengumandang azan akan diberikan pahala yang besar. “Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkanny” (HR. Bukhari dan Muslim). Disamping itu dengan lantunan azannya, seorang muazzin akan diampuni dosanya sejauh jarak suara azannya. “Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad). Besarnya pahala dan keutamaan yang dijanjikan Allah menunjukkan pula besarnya perhatian Islam terhadap syariat tersebut. Jadi, sangat tidak pantas jika ada umat islam yang tidak senang atau merasa terganggu dengan lantunan suara adzan.
Dalam sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah r.a, ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi” (HR. Bukhari dan Muslim). Na’udzubillah, hadits diatas sepatutnya menjadi cambuk bagi setiap muslim yang merasa terganggu dengan suara azan. Sejelek-jeleknya suara muazzin, tetap saja akan membuat syaitan lari terbirit-birit mendengar lantunan suci tersebut. Lantas, apa kita mau disandingkan dengan syaitan yang tidak menyukai suara azan?.
Dua syari’at yang diusik Sukmawati Soekarnoputri dalam lantuan puisinya, menurut hemat penulis memuat agenda sekularisasi terhadap syari’at islam. Sekularisasi adalah suatu proses pemisahan antara nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai keduniaan. Sedangkan ideologinya sendiri adalah sekularisme. Virus sekularisme ini kembali digaungkan oleh mereka yang mengaku sebagai kaum nasionalis. Tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun telah terjadi pula di belahan dunia yang lain. Faham sekularisme sudah terlampau sering mengusik syari’at islam hingga dalam batas menghapuskan syari’at tersebut, seperti yang pernah terjadi di Negara Turki semenjak keruntuhan Khilafah Utsmani tahun 1923 Masehi silam.
Sekularisasi Turki juga memuat dua unsur yang disinggung dalam puisi diatas, yaitu terkait masalah azan dan penggunaan hijab bagi wanitanya. Azan dengan bahasa arab dilarang dan diganti dengan bahasa Turki sejak tahun 1932 hingga 1950. Hal ini berlaku di seluruh masjid yang ada di Turki. Tak hanya masalah azan, sekularisasi juga mencakup lingkup pemerintahan dan tatanan kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan ditutupnya pengadilan-pengadilan agama, madrasah-madrasah, serta masjid Hagia Shopia yang merupakan simbol perjuangan umat islam di Turki dijadikan sebagai museum pada masa itu. Dalam tatanan kehidupan sehari, simbol-simbol keagamaan dilarang digunakan, dalihnya adalah nasionalisme, seperti dengan pelarangan penggunaan jilbab di ruang publik, penggunaan sorban, penggantian hari libur yang semula hari jum’at menjadi hari minggu, serta penggunaan kalender masehi sebagai ganti dari kalender hijriah.
Mari kita bandingkan dengan Indonesia. Bukankah gejala sekularisasi sudah sangat tampak di negeri dengan mayoritas islam ini?. Agenda sekularisasi yang merupakan bagian dari judul tulisan ini ditulis bukan dengan tanpa alasan. Hal ini terbukti dengan beberapa kasus yang telah dan marak terjadi beberapa tahun belakangan ini. Dimulai dengan pidato ahok yang mencoba mensekularisasi Q.S Almaidah ayat 51 yang melarang umat islam memilih pemimpin non muslim. Pidato tersebut bukan hanya masalah larangan memilih pemimpin non muslim saja, tapi merupakan upaya untuk memisahkan kaidah serta hukum-hukum agama dalam unsur politik. Ulama dilarang dakwah yang berkaitan dengan unsur politik, seperti mendakwahkan khilafah yang jelas ada nubuatnya, melarang memilih pemimpin non muslim bagi umat islam, serta mendakwahkan konsep syari’ah baik dalam lingkup ekonomi hingga regulasi.
Semenjak adanya reaksi umat islam dibuktikan dengan adanya aksi yang dilakukan berjilid-jilid, muncullah beragam reaksi dari kaum yang mengaku sebagai nasionalis. Diantara mereka ada yang mempermasalahkan penggunaan kata kafir yang merupakan sebutan non muslim yang terdapat dalam Al-Quran, yang digaungkan oleh ulama-ulama dan umat islam. Hingga muncullah kriminalisasi ulama, pengusiran ustadz-ustadz pada acara pengajian, serta aksi bullyng yang terjadi di media sosial terhadap penggunaan kata kafir ini. Selanjutnya, diikuti pula dengan pengusikan yang dilakukan terhadap syari’at islam di Aceh yang menghimbau agar pramugari menggunakan jilbab ketika bertugas di Aceh, serta pengusikan terhadap syari’at hukum cambuk yang merupakan bagian keistimewaan daerah Aceh oleh kaum yang mengaku paling Nasionalis. Dan baru-baru ini, pengusikan terhadap syari’at islam juga didengungkan oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam puisinya.
Rentetan kasus diatas merupakan rangkaian agenda sekularisasi yang marak digaungkan terhadap umat islam. Simbol-simbol serta aturan keagamaan umat islam seakan mengusik nurani mereka. Penggunaan kata kafir yang sejatinya jauh lebih terhormat dibanding kata serupa dalam agama lain, ekonomi dan regulasi syari’ah, jilbab, hingga lantunan azan mereka permasalahkan dengan dalih budaya dan kebinekaan. Islam mencintai keindahan dan keberagaman. Sedangkan budaya itu adalah bagian dari keindahan dan keberagaman itu sendiri. Namun ada batas dan koridornya, yaitu asalkan tidak bertentangan dengan syari’at islam. Islam tidak pernah melarang dan mengusik umat lain untuk bersari konde dan berkidung ria. Namun Islam mewajibkan pengikutnya untuk berhijab, menyunnahkan kaum wanitanya untuk bercadar.
Azan adalah panggilan ibadah yang diatur oleh Islam, sangat tidak layak diusik lantunannya dengan dalih jeleknya suara muazzinnya. Pun tidak semua senandung kidung yang dinyanyikan itu indah di telinga, namun tak pernah islam mencelanya. Wanita bercadar yang sedang ingin kaffah beribadah, harusnya diapresiasi bukan malah diusik lalu dibandingkan dengan sari kondemu. Berkonde adalah pilihanmu, sedangkan bercadar juga merupakan bagian dari pilihan wanita islam. Menghargai jauh lebih baik. Jika tidak tau terhadap syari’at lebih baik diam, bukan dengan merangkai kata tanpa arti. Cadar dan azan adalah bagian dari kebebasan ibadah. Bukankah konstitusi kita menjamin kebebasan itu? Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 mengungkapkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah jelas menjamin kebebasan beribadah serta melarang faham sekularisme diatas.
Sekularisme atau faham yang mencoba memisahkan dan menghilangkan tatanan, aturan serta simbol agama dengan unsur politik dan tatanan kehidupan sehari-hari, nyatanya telah menyebabkan kemunduran bagi Turki di masa dahulu, dan syari’at adalah penyelamat Turki di masa kini. Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa nasionalisme memang diperlukan, tapi tidak dengan menumbuhkan bibit-bibit sekularisme. Sekularisme tak boleh hidup di negeri yang berlandaskan ketuhanan yang Maha Esa ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)