Sunday, 6 May 2018
Ada Agenda Sekularisasi Dibalik Puisi Sukmawati
Jagat dunia maya kembali diviralkan dengan lantunan puisi yang dibawakan oleh Sukmawati Soekarnoputri. Puisi tersebut disinyalir berisi pelecehan terhadap syari’at islam yaitu mengenai cadar yang disandingkan dengan konde ibu dan suara azan yang disandingkan dengan kidung (nyanyian) ibu Indonesia. Dalam puisi yang berjudul Ibu Indonesia tersebut berisi penggalan kalimat “sari konde ibu Indonesia sangatlah indah lebih cantik dari cadar yang gerai lekukan rambutnya suci sesuci kain pembungkus ujudmu”. Disamping itu terdapat pula penggalan “Aku tak tahu syariat Islam Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia sangatlah elok,, lebih merdu dari alunan adzan mu, Gemulai gerak tarinya adalah ibadah, Semurni irama puja kepada Illahi”.
Berbicara tentang cadar, adalah bagian syari’at islam yang patut kita yakini dan hormati. Bukan malah membandingkannya dengan sari konde yang jelas bukan merupakan bagian dari syari’at islam. Cadar merupakan kain pembungkus wujud yang tak hanya berfungsi layaknya aksesoris kecantikan layaknya sari konde ibu Indonesia, namun cadar merupakan satu bentuk kepatuhan terhadap perintah Tuhan serta sebagai bagian wujud penjagaan diri seorang wanita. Cadar adalah pembeda antara wanita yang senantiasa ingin dipuja kecantikannya dengan wanita yang ingin menjaga kehormatan bagi dirinya. Pemakai cadar jauh lebih istimewa dibandingkan kata indah dan cantik itu sendiri, sebab cadar adalah kehormatan sedangkan keindahan dan kecantikan itu dapat menjadi bagian dari kesombongan.
Begitu pula ketika berbicara tentang lantunan azan. Merupakan suatu pelecehan jika lantunan azan disandingkan dengan kidung yang belum jelas bait lantunannya. Lantunan azan berisi beragam keutamaan, berbeda dengan kidung ibu yang hanya sebatas nyanyian penghibur hati semata, tak mampu memberikan manfaat akhirat baik bagi pelantunnya maupun bagi pendengarnya. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, diungkapkan bahwa pengumandang azan akan diberikan pahala yang besar. “Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkanny” (HR. Bukhari dan Muslim). Disamping itu dengan lantunan azannya, seorang muazzin akan diampuni dosanya sejauh jarak suara azannya. “Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad). Besarnya pahala dan keutamaan yang dijanjikan Allah menunjukkan pula besarnya perhatian Islam terhadap syariat tersebut. Jadi, sangat tidak pantas jika ada umat islam yang tidak senang atau merasa terganggu dengan lantunan suara adzan.
Dalam sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah r.a, ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi” (HR. Bukhari dan Muslim). Na’udzubillah, hadits diatas sepatutnya menjadi cambuk bagi setiap muslim yang merasa terganggu dengan suara azan. Sejelek-jeleknya suara muazzin, tetap saja akan membuat syaitan lari terbirit-birit mendengar lantunan suci tersebut. Lantas, apa kita mau disandingkan dengan syaitan yang tidak menyukai suara azan?.
Dua syari’at yang diusik Sukmawati Soekarnoputri dalam lantuan puisinya, menurut hemat penulis memuat agenda sekularisasi terhadap syari’at islam. Sekularisasi adalah suatu proses pemisahan antara nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai keduniaan. Sedangkan ideologinya sendiri adalah sekularisme. Virus sekularisme ini kembali digaungkan oleh mereka yang mengaku sebagai kaum nasionalis. Tak hanya terjadi di Indonesia saja, namun telah terjadi pula di belahan dunia yang lain. Faham sekularisme sudah terlampau sering mengusik syari’at islam hingga dalam batas menghapuskan syari’at tersebut, seperti yang pernah terjadi di Negara Turki semenjak keruntuhan Khilafah Utsmani tahun 1923 Masehi silam.
Sekularisasi Turki juga memuat dua unsur yang disinggung dalam puisi diatas, yaitu terkait masalah azan dan penggunaan hijab bagi wanitanya. Azan dengan bahasa arab dilarang dan diganti dengan bahasa Turki sejak tahun 1932 hingga 1950. Hal ini berlaku di seluruh masjid yang ada di Turki. Tak hanya masalah azan, sekularisasi juga mencakup lingkup pemerintahan dan tatanan kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan ditutupnya pengadilan-pengadilan agama, madrasah-madrasah, serta masjid Hagia Shopia yang merupakan simbol perjuangan umat islam di Turki dijadikan sebagai museum pada masa itu. Dalam tatanan kehidupan sehari, simbol-simbol keagamaan dilarang digunakan, dalihnya adalah nasionalisme, seperti dengan pelarangan penggunaan jilbab di ruang publik, penggunaan sorban, penggantian hari libur yang semula hari jum’at menjadi hari minggu, serta penggunaan kalender masehi sebagai ganti dari kalender hijriah.
Mari kita bandingkan dengan Indonesia. Bukankah gejala sekularisasi sudah sangat tampak di negeri dengan mayoritas islam ini?. Agenda sekularisasi yang merupakan bagian dari judul tulisan ini ditulis bukan dengan tanpa alasan. Hal ini terbukti dengan beberapa kasus yang telah dan marak terjadi beberapa tahun belakangan ini. Dimulai dengan pidato ahok yang mencoba mensekularisasi Q.S Almaidah ayat 51 yang melarang umat islam memilih pemimpin non muslim. Pidato tersebut bukan hanya masalah larangan memilih pemimpin non muslim saja, tapi merupakan upaya untuk memisahkan kaidah serta hukum-hukum agama dalam unsur politik. Ulama dilarang dakwah yang berkaitan dengan unsur politik, seperti mendakwahkan khilafah yang jelas ada nubuatnya, melarang memilih pemimpin non muslim bagi umat islam, serta mendakwahkan konsep syari’ah baik dalam lingkup ekonomi hingga regulasi.
Semenjak adanya reaksi umat islam dibuktikan dengan adanya aksi yang dilakukan berjilid-jilid, muncullah beragam reaksi dari kaum yang mengaku sebagai nasionalis. Diantara mereka ada yang mempermasalahkan penggunaan kata kafir yang merupakan sebutan non muslim yang terdapat dalam Al-Quran, yang digaungkan oleh ulama-ulama dan umat islam. Hingga muncullah kriminalisasi ulama, pengusiran ustadz-ustadz pada acara pengajian, serta aksi bullyng yang terjadi di media sosial terhadap penggunaan kata kafir ini. Selanjutnya, diikuti pula dengan pengusikan yang dilakukan terhadap syari’at islam di Aceh yang menghimbau agar pramugari menggunakan jilbab ketika bertugas di Aceh, serta pengusikan terhadap syari’at hukum cambuk yang merupakan bagian keistimewaan daerah Aceh oleh kaum yang mengaku paling Nasionalis. Dan baru-baru ini, pengusikan terhadap syari’at islam juga didengungkan oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam puisinya.
Rentetan kasus diatas merupakan rangkaian agenda sekularisasi yang marak digaungkan terhadap umat islam. Simbol-simbol serta aturan keagamaan umat islam seakan mengusik nurani mereka. Penggunaan kata kafir yang sejatinya jauh lebih terhormat dibanding kata serupa dalam agama lain, ekonomi dan regulasi syari’ah, jilbab, hingga lantunan azan mereka permasalahkan dengan dalih budaya dan kebinekaan. Islam mencintai keindahan dan keberagaman. Sedangkan budaya itu adalah bagian dari keindahan dan keberagaman itu sendiri. Namun ada batas dan koridornya, yaitu asalkan tidak bertentangan dengan syari’at islam. Islam tidak pernah melarang dan mengusik umat lain untuk bersari konde dan berkidung ria. Namun Islam mewajibkan pengikutnya untuk berhijab, menyunnahkan kaum wanitanya untuk bercadar.
Azan adalah panggilan ibadah yang diatur oleh Islam, sangat tidak layak diusik lantunannya dengan dalih jeleknya suara muazzinnya. Pun tidak semua senandung kidung yang dinyanyikan itu indah di telinga, namun tak pernah islam mencelanya. Wanita bercadar yang sedang ingin kaffah beribadah, harusnya diapresiasi bukan malah diusik lalu dibandingkan dengan sari kondemu. Berkonde adalah pilihanmu, sedangkan bercadar juga merupakan bagian dari pilihan wanita islam. Menghargai jauh lebih baik. Jika tidak tau terhadap syari’at lebih baik diam, bukan dengan merangkai kata tanpa arti. Cadar dan azan adalah bagian dari kebebasan ibadah. Bukankah konstitusi kita menjamin kebebasan itu? Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 mengungkapkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah jelas menjamin kebebasan beribadah serta melarang faham sekularisme diatas.
Sekularisme atau faham yang mencoba memisahkan dan menghilangkan tatanan, aturan serta simbol agama dengan unsur politik dan tatanan kehidupan sehari-hari, nyatanya telah menyebabkan kemunduran bagi Turki di masa dahulu, dan syari’at adalah penyelamat Turki di masa kini. Seharusnya ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa nasionalisme memang diperlukan, tapi tidak dengan menumbuhkan bibit-bibit sekularisme. Sekularisme tak boleh hidup di negeri yang berlandaskan ketuhanan yang Maha Esa ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write comments