Sebagai seorang pelajar, kewajiban kita tentunya adalah menuntut ilmu. Dalam agama Islam, menuntut ilmu merupakan satu hal yang sangat penting. Bahkan nabi memerintahkan untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat, artinya kita dituntut untuk senantiasa belajar semenjak kita dilahirkan hingga datang kematian. Dengan belajar, wawasan dan pola pikir kita akan lebih terbuka dan terarah. Dan dengan belajar pula Allah akan meninggikan derajat hambanya. “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Mujadalah/58: 11).
Terkadang, semangat belajar ini tidak sebanding dengan apa yang kita harapkan. Seringkali kita membaca dan menghapal, namun bacaan dan hapalan tersebut mudah hilang begitu saja. Atau mungkin ketika kita diterangkan pelajaran oleh guru kita di kelas namun ketika ditanya kembali materi yang telah diajarkan tersebut pada keesokan harinya, hanya beberapa saja yang kita ingat atau bahkan tidak kita ingat sama sekali. Dan ada yang lebih parah lagi, ketika baru saja diterangkan materi pelajaran, tak lama beberapa saat setelah diterangkan materi tersebut ,lalu ditanya kembali pun masih banyak diantara kita yang lupa.
Lebih sulit lagi teruntuk teman-teman yang sedang dalam proses ingin menghapal Al-quran. Seringkali untuk menghapal beberapa ayat saja sudah sulit, pun ketika sudah dapat dihapal, hapalan tersebut tidak dapat bertahan lama. Begitu terasa sekali kesulitan menghapalnya. Coba kita bandingkan dengan adik-adik kita di Palestina, di usia SD saja ada yang sudah hafizh Qura’an 30 Juz.
Lebih hebatnya lagi jika kita membaca biografinya Imam Syafi’i. Imam Syafi’I adalah adalah satu diantara 4 imam mazhab terkemuka. Disamping terkenal dengan kealiman, keteladanan dan kezuhudannya, Ia juga terkenal sebagai ahli fiqih dan seorang yang sangat bagus hapalannya. Hapal Alquran dalam usia tujuh tahun, tuntas membaca kitab Al-Muwatha’ dihadapan penulisnya yang sekaligus gurunya dalam usia sepuluh tahun, serta diberi otoritas menyampaikan fatwa di usia lima belas tahun merupakan keistimewaan yang tidak semua orang dapat memilikinya. Lantas apa rahasia kuatnya hapalan Imam Syafi’I tersebut? Selanjutnya akan kita bahas dan renungkan pada kisah berikut.
Suatu ketika Imam Syafi’i pernah bertanya kepada gurunya ketika menghadapi kesulitan menghapal, sebelumnya Ia tidak pernah sama sekali mengalami kesulitan. Berbeda dengan kita yang sering mengalami kesulitan hingga menjadi hal yang biasa ketika lupa. Kisah tersebut adalah ketika Ia bertanya kepada gurunya, Imam Waki’. “Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).
Kisah diatas mengindikasikan bahwa maksiat adalah penghalang mudahnya menuntut ilmu. Sebab itu ketika kita mengalami kesulitan belajar maka lakukanlah introspeksi diri terhadap maksiat apa yang telah kita perbuat. Imam Syafi’i yang tidak sengaja melihat betis perempuan yang berjalan di depannya saja dapat menghilangkan beberapa hapalannya, apa kan lagi dengan kita yang melihat lebih dari itu dengan sengaja. Bahkan dengan kepo menstalking foto-foto mereka di sosial media dengan syahwat, dan dengan mudahnya kita melihat situs-situs porno. Maka jangan heran jika mengalami kesulitan belajar, ilmu menjadi sulit dicerna dan dihapal. Sebab ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberi kepada ahli maksiat. Oleh karena itu, bagi kita penggiat ilmu hendaknya senantiasa menjaga pandangan atau gahdul bashar dari hal-hal yang dapat menimbulkan syahwat.
*Penulis adalah alumni Rohis SMAN 2 Mempawah
No comments:
Write comments