Debur ombak lautan, berderu menghantam pesisir yang rapuh, mengikis daratan yang gersang menjadi lautan. Sedikit demi sedikit daratan pun sirna. Pasir putih hilang berganti lumpur yang pekat tak ditumbuhi sebatang pohon apapun. Tak terdengar lagi kicauan burung bernyanyi di pinggiran pantai, terasa sepi, burung-burung bermigrasi meninggalkan pinggiran pantai berlumpur.
Tampak pula lautan yang seolah menantang jalanan, mendekat dan terus mendekati jalanan itu. Di lain sisi, seonggok pulau bergerak menjauhi pesisir, tempat yang dulunya menyatu, terputus sebab tergerus ombak yang kian terus menghantam dengan hebatnya, menjadikan sebagian tanahnya yang lain menjadi lautan.
Pesisir asri bak bunga mimpi yang menjadi cerita tak berbekas. Mangrove yang rindang kini gersang tak mau tumbuh, seolah marah terhadap keserakahan manusia yang bisanya hanya merusak namun tak berniat memperbaiki. Ada yang sadar, namun tak sedikit pula yang menutup mata atas kemarahan alam kala itu.
Pasir putih yang berganti lumpur, Mangrove yang rindang berganti gersang, dan lautan yang sedikit demi sedikit mengikis daratan menantang jalanan. Hal ini seolah tak cukup menjadi satu peringatan kekecewaan dan kemarahan alam atas manusia. Hanya sedikit yang sadar, memohon maaf pada alam dengan mengembalikan kesejukan yang dulu pernah alam berikan.
Ialah seorang Raja Fajar Azansyah, perintis sekaligus ketua Mempawah Mangrove Conservation (MMC). Lulusan Tourism Manajement di STIEPAR Yapari Akripa Bandung. Pemuda kelahiran Tanjung Pinang yang kini tinggal di Mempawah, Kalimantan Barat. Potret pribadi yang patut ditiru atas dedikasinya terhadap keberlangsungan hutan Mangrove di pesisir Kabupaten Mempawah.
Berawal dari keperihatinannya atas pesisir Kabupaten Mempawah yang kian hari semakin tergerus, Beliau dan beberapa rekannya mencoba menjemput simpati dari sekolah ke sekolah, dari instansi ke instansi bak seorang sales guna menyadarkan akan pentingnya menjaga kelestarian hutan Mangrove yang saat itu kian memperihatinkan terkhusus di beberapa desa seperti di desa pasir, desa benteng, desa bakau besar laut, dan beberapa desa lain yang ada di kabupaten Mempawah.
Dikisahkan oleh Pak Bakar, tokoh masyarakat pesisir Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Beliau mengungkapkan bahwa wilayah yang kini tergerus abrasi tersebut dulunya merupakan lahan sawah. Wilayah tersebut dulunya merupakan penghasil lumbung padi yang lumayan besar dengan stok beras hingga sebesar 7 ton beras. Namun citra tersebut kini sirna digerus oleh abrasi pantai yang menghantam wilayah tersebut.
Raja Fajar Azansyah mengungkapkan bahwa Kabupaten Mempawah memiliki garis pantai sepanjang 120 km yang rawan abrasi. Abrasi pantai di Mempawah ini telah terjadi mulai tahun delapan puluhan hingga sekarang dengan panjang abrasi sepanjang satu setengah hingga 2 km. Ini menggambarkan sebegitu parahnya dampak abrasi yang dialami oleh wilayah ini.
Abrasi ini mengancam masyarakat yang tinggal di sekitaran daerah pesisir. Banyak diantara mereka yang sekarang pindah ke daratan disebabkan tanah yang dulunya mereka tinggali kini telah menyatu dengan lautan. Hal ini seperti yang terjadi pada pulau penibung.
Dulunya pulau tersebut menyatu dengan daratan, namun dikarenakan ombak lautan yang terus menerus menghantam wilayah ditambah tidak adanya hutan Mangrove yang menjadi benteng deburan ombak, kini pulau tersebut telah terpisah jauh dari daratan.
Salah satu anggota MMC, Sah hardiansyah menambahkan bahwa pulau penibung sendiri mulai terkikis pada sekitar tahun 2000an. Beliau mengisahkan bahwa di pulau penibung tersebut dulunya ditinggali oleh Pak Boyo yang memelihara sapi dan kuda.
Ketika pulau tersebut sedikit demi sedikit terpisah dari daratan, Pak Boyo pun mencoba untuk membuat jembatan dari tanaman nibung yang beliau gunakan untuk menyeberangi pulau tersebut. Namun disebabkan oleh kondisi pulau yang semakin menjauh dari daratan, Pak Boyo pun kemudian memantapkan diri untuk pindah ke Desa Pasir.
Selain abrasi yang terjadi di Desa Pasir, abrasi pantai yang parah juga terjadi di Desa Sungai Bakau Besar Laut, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Raja Fajar Azansyah mengungkapkan, Desa Sungai Bakau Besar Laut dulunya memiliki garis pantai sepanjang 4 kilometer dilengkapi dengan rimbun hutan Mangrove. Namun saat ini, garis pantai yang cukup panjang tersebut telah kehilangan sebesar 3 kilometer hutan Mangrovenya.
Atas dasar keperihatinan tersebut, maka Raja Fajar Azansyah dengan 3 orang rekannya membuat komunitas yang Beliau namakan Mempawah Mangrove Conservation (MMC) yang dengan Beliau sendiri sebagai ketuanya. Komunitas ini merupakan organisasi kemasyarakatan yang mulai dibentuk pada tahun 2011 di Mempawah.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh organisasi ini guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian Mangrove di daerah rawan abrasi, dimulai dengan datang dari sekolah ke sekolah guna mengkampanyekan jargon Save Our Mangrove Forest, turut juga diadakan aksi koin Mangrove kala itu guna menghimpun dana untuk pembelian bibit Mangrove dari sekolah ke sekolah.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya suntikan dana dari instansi atau sponsor apapun yang setidaknya dapat membantu mereka dalam memperoleh bibit yang nantinya akan mereka tanam. Segala dana penunjang murni dari kantong mereka pribadi. Semua itu mereka lakukan hanya untuk satu hal, pesisir pantai terselamatkan dan hutan Mangrove yang gersang kembali rindang di bumi galaherang.
Tuhan Maha Tahu dan Maha Penolong atas usaha tulus hambanya. Berawal dari 3 orang Mangrove volunteers, kini MMC telah memiliki lebih dari 500 orang lebih Mangrove volunteers yang kiat membantu dan peduli terhadap kelestarian hutan Mangrove di pesisir-pesisir pantai Bumi Galaherang.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh MMC, saat ini mereka bersama teman-teman Mangrove volounteers telah menanam sebanyak 137.500 pohon Mangrove di 7 Desa di Kabupaten Mempawah dengan total luas lahan sebesar 13,75 Ha lahan terhitung dari akhir tahun 2011 hingga tahun 2015 dan penanaman ini masih terus berlanjut dilakukan.
Hal ini sebenarnya belumlah cukup untuk mengembalikan kejayaan hutan Mangrove tempo dulu di Kabupaten Mempawah. Namun setidaknya hal ini telah menjadi langkah awal bagi kelestarian hutan Mangrove ke depannya.
Disamping melakukan konservasi, Raja Fajar Azansyah beserta Rekan MMC lainnya juga membentuk industri menengah yang kreatif dengan memanfaatkan buah tanaman Mangrove jenis sonneratia apetala atau yang lebih dikenal dengan buah kedabu, menjadi olahan sirup Mangrove dan olahan dodol yang enak dan sehat untuk dikonsumsi.
Industri menengah yang kreatif ini melibatkan ibu-ibu rumah tangga di Desa Sungai Bakau Besar Laut, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah. Dengan adanya industri menengah yang kreatif ini diharapkan agar buah kedabu yang banyak tumbuh di pesisir Kabupaten Mempawah dapat termanfaatkan dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sekitar.
Tidak cukup pada dua hal diatas, Raja Fajar Azansyah beserta rekannya di MMC juga sedang gencar-gencarnya membangun Mempawah Mangrove Park (MMP) sebagai upaya untuk menjadikan hutan Mangrove yang telah dibangunnya sebagai destinasi wisata berbasis Mangrove Ecotourism atau tempat wisata berbasis lingkungan hutan Mangrove.
MMP ini telah diresmikan pada tanggal 23 agustus 2016 yang bertempat di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah. Beberapa fasilitas umum telah disediakan seperti WC umum, Rumah Mangrove, playground untuk anak-anak, dan 8 buah kanoo yang disewakan.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh MMC, diketahui bahwa jumlah pengunjung MMP periode tanggal 6 agustus hingga 12 September 2016 yaitu sebesar 3625 orang. Hal ini dapat dilihat pada grafik dibawah. Sebuah angka yang lumayan besar untuk sebuah tempat wisata baru.
Semua hal diatas tidaklah mudah untuk mewujudkannya. Begitu banyak halang rintangan yang Fajar Azansyah beserta rekan-rekannya hadapi. Beliau mengungkapkan bahwa untuk membentuk sebuah organisasi kemasyarakatan yang berniat melakukan konservasi Mangrove ini tidaklah mudah. Begitu banyak cercaan, cemohan, serta kata GILA yang telah mereka terima. Masyarakat dan teman dekatnya bahkan menganggap mereka di MMC kurang kerjaan melakukan konservasi Mangrove, mereka beranggapan bahwa Mangrove tersebut dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa harus ditanam.
Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat meraka untuk terus melakukan konservasi. Berawal dari 3 orang “GILA”, saat ini mereka telah memiliki hampir 500 lebih volounteers. Dari yang dulunya mereka tidak dapat bekerja sama dengan masyarakat, kini masyarakat dan tokoh masyarakat setempat telah mendukung dan sadar akan pentingnya melestarikan serta menjaga hutan Mangrove.
Diungkapkan juga bahwa MMC aktif melakukan konservasi di beberapa tempat seperti di Desa Pasir, Purun Kecil, Sungai Bakau besar laut, Sungai Bakau Besar Kecil, dan Desa Penibung. Saat ini, telah banyak mitra kerja dan donator dari berbagai corporasi, individu serta pemerintahan Provinsi dan Kabupaten yang telah mendukung MMC.
Di samping itu, Raja Fajar Azansyah juga mengungkapkan bahwa saat ini MMC telah menerima 10 mahasiswa magang dari jurusan kehutanan Fakultas Kehutanan dan jurusan Kelautan FMIPA UNTAN yang menjadi mitra teman-teman mahasiswa yang melakukan penelitian skripsi terkait objek penelitian Mangrove di Kabupaten Mempawah.
Selain itu, Fajar juga berharap agar ada regulasi atas perlindungan hutan Mangrove yang ada baik berupa PERDA, PERBUP ataupun PERDES seperti yang pernah dilakukannya bersama pemerintahan desa Sungai Bakau Kecil awal tahun 2016 lalu. MMP ini dibuat semata agar MMC dan masyarakat dapat lebih mandiri dan lebih cepat dalam melakukan konservasi serta penanaman Mangrove.
Beliau berharap agar pemerintah daerah dapat membantu menambah fasilitas yang ada agar MMP dapat lebih menarik lagi untuk dikunjungi. Di samping itu, Beliau juga berharap agar MMP kedepannya dapat berkembang dan menjadi destinasi wisata favorit di Kabupaten Mempawah dan Kalbar.
No comments:
Write comments