Saturday, 29 October 2016

Senioritas dan Kebebasan Berpendapat


            Junior merupakan periode awal bagi Individu  yang ingin masuk ke dalam suatu lingkungan yang baru, suatu lingkungan yang jauh berbeda dari lingkungan asalnya.  Dalam masa ini tentunya akan banyak perbedaan yang akan dirasakan oleh individu tersebut. Merasa terasingkan misalnya.
            Mahasiswa baru atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan Maba adalah sosok junior yang baru menempuh bangku kuliah. Tentu banyak hal yang baru, yang berbeda, yang dialami oleh individu  pada masa ini. Mulai dari status pendidikan, atau mungkin “perlakuan”. Masa Maba ini umumnya dirasakan berat oleh semua individu sebab dalam masa ini seorang individu dituntut untuk patuh dan taat dengan yang namanya “aturan senioritas”.
Sedikit melirik ke belakang dari mana asal adanya doktrin senioritas, Indonesia yang dulunya merupakan bekas Negara jajahan tentunya memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda jika dibandingkan dengan Negara-negara adikuasa pada zamannya, yang lahir dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Doktrin sebagai Negara jajahan yang dulunya ditanamkan oleh rezim kolonialisme dulu, saat ini seakan menjadi makanan sehari-hari yang konon bisa dijadikan sebagai tradisi turun temurun. Doktrin Senioritas misalnya. Adakah bagi bangsa yang dulunya mengedepankan asas kekeluargaan ini mengenal apa itu senioritas?. Penulis rasa itu tidak, serta tidak akan pernah ada yang namanya itu. Bahkan penjajah saja enggan menerapkan asas senioritas di negaranya. Semua dapat kita lihat  pada bentuk orientasi mereka di kampus-kampus Negara mereka  misalnya. Tidak ada bullyan sedikitpun untuk junior. Senior difungsikan sebagai pembimbing, perangkul yang muda. Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang ada di Negara ini. Di zaman orde barupun doktrin seperti ini juga turut diterapkan, prinsip yang kuat yang berkuasapun tak luput diterapkan layaknya bentuk kolonialisme baru bagi Negara yang baru merdeka. Pemerintah bersikap otoriter. Hak bicara seakan hanya milik penguasa. Kritik sosialpun diabaikan.
            Senioritas menurut penulis, lahir dan hanya ada di Negara-negara yang baru berkembang, Negara bekas jajahan, seperti halnya pada Negara ini. Senioritas merupakan bentuk baru dari doktrin kolonialisme yang mana yang di bawah harus tunduk pada penguasa, yang baru harus tunduk pada aturan yang lama, yang lemah harus tunduk kepada yang kuat, kebebasan berpendapat dibatasi.
            Dalam hal Orientasi di Negara ini misalnya, umumnya berlaku beberapa pasal yang konon dibuat untuk melanggengkan asas senioritas. Senior ibarat mahluk tanpa celah, tanpa salah. Apapun yang dilakukan mereka merupakan perintah, tidak ada kata salah untuk mereka. Mirip halnya seperti pada masa kolonialisme dan Orde baru. Kebebasan berpendapat junior dibatasi.
            UUD NRI tahun 1945 pasal 28 menegaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa “ Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk mendapat kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas”.
            Dalam hal ini jelas adanya bahwa setiap orang memiliki hak asasi yang sama sebagai kodrat lahiriahnya, sama-sama berhak bicara, menyampaikan pendapat yang menjadi unek-unek dalam fikirannya tanpa tekanan, tidak peduli status, yang muda atau yang tua, junior atau senior, mereka memiliki hak yang sama. Nah, dalam hal ini, menyampaikan pendapat tentunya harus dengan memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut diantaranya dengan argumentasi yang kuat dan jelas, mementingkan kepentingan orang banyak, serta terbuka menerima pendapat atau sanggahan dari orang lain. Faktanya pada poin ketiga ini sudah sangat sedikit sekali dimiliki oleh tiap individu pada masa ini. Seringkali kita jumpai dalam rapat misalnya, seolah-olah merasa diri yang paling benar sehingga secara sadar atau tidak, hak bicara orang lainpun kita batasi. Seakan hanya pendapat kitalah yang paling benar. Hak orang lain kita langgar. Ketika pendapat orang lain berbeda dengan jalan fikiran kita, bukannya menghargai, tapi malah menjudge, perkataan yang tidak baikpun terlontar. Rapat yang umumnya dijadikan sebagai sarana musyawarah untuk mufakat kini berubah menjadi ajang untuk berdebat, ajang adu hebat.
            Analogi maba dan kampus hanya merupakan analogi kecil dari praktek senioritas yang berkembang di Negara ini, tentunya masih banyak lagi praktek-praktek senioritas yang masih berkembang di masyarakat. Senior junior nyatanya memang kodrat, tapi tidak untuk senioritas. Yang tua patutnya membimbing yang muda, mengarahkan dengan ajakan yang hikmah dan hasanah. Kemerdekaan berpendapat itu mutlak milik setiap orang. Tentunya merupakan bentuk pelanggaran hukum jika kita membatasi hak orang lain berpendapat. Tidak selamanya yang tua itu benar, namun juga belum tentu yang mudalah yang benar. Menghargai pendapat orang lain merupakan bentuk sikap luhur yang harus dipupuk di diri kita. Terlepas dari benar atau salahnya pendapat mereka, jika ingin menyanggah maka sanggahlah dengan cara yang baik, bukan dengan teriakan menjatuhkan yang hanya akan menyulut amarah dan kebencian. Hargai pendapat tanpa batas.

    Choose :
  • OR
  • To comment
No comments:
Write comments