Monday, 15 August 2016

Penyimpangan LGBT Tidak untuk Dibenarkan tapi Diluruskan

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” (Hud : 82-83). Kutipan firman diatas sepatutnya menjadi peringatan sekaligus ancaman keras bagi pelaku, maupun aktivis yang senantiasa mendukung prilaku menyimpang LGBT.

Bicara persoalan di Negara ini memang tidak ada habis-habisnya. Berbagai persoalan yang timbul saat ini bah buih di lautan yang tiada habisnya. Mulai dari prilaku korupsi, penistaan agama, nabi palsu, hingga satu persoalan besar yang dulunya pernah terjadi pada masa nabi luth, suatu prilaku menyimpang yang belum pernah dilakukan oleh kaum-kaum sebelumnya. Perbuatan yang melanggar ketentuan dan kodrat semesta.
Bagi mahluk yang diberi akal untuk berfikir tentunya akan melihat bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan secara berpasangan. Allah menciptakan malam sebagai penutup siang, langit sebagai naungan bumi, kejahatan dan kebaikan, ada perempuan juga lelaki. Segala sesuatu di langit maupun dibumi, yang tampak maupun tidak, sepatutnya dijadikan pelajaran bagi kita yang berfikir.

Bicara mengenai prilaku menyimpang LGBT (lesbi, gay, biseksual, transgender) yang lagi trend-trendnya diberitakan di media massa sepatutnya dijadikan cermin sebegitu hancurnya moral umat manusia di akhir zaman ini. Naluri yang sepantasnya tidak diindahkan, dibuang jauh-jauh ketika naluri tersebut terbesit di hati malah dikatakan sebagai naluri manusiawi, dibuat pembenaran atas dasar hak asasi. Bicara tentang hak asasi, tentunya punya batasan tersendiri sebagaimana yang termaktub dalam pasal 28 j ayat 1 yang mana setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi penggiat, aktivis LGBT yang mengatasnamakan HAM sebagai pembenaran atas prilaku mereka harusnya sadar betul bahwa prilaku LGBT menimbulkan dampak sosial yang meresahkan masyarakat yang notabenenya heteroseksual, masyarakat yang menjunjung tinggi aturan agama ditempat dimana dia tinggal, masyarakat yang takut jika prilaku menyimpang ini menular terhadap anak-anak serta keluarga mereka, masyarakat yang takut jika anak-anak bahkan sanak keluarga mereka kelak akan menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh oknum pelaku LGBT, sodomi terhadap anak misalnya. Sebab begitu banyak kasus sodomi terhadap anak yang terjadi di negeri ini yang salah satunya disebabkan oleh mereka yang menyukai sesama lelaki dan hal ini tentunya akan mengganggu tumbuh kembang dari si anak korban oknum LGBT itu sendiri. Terlebih lagi akan takutnya masyarakat terhadap ancaman dari ayat Allah jika prilaku menyimpang ini sudah merajalela di tengah-tengah masyarakat. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96). Ayat diatas menegaskan bahwa Allah hanya akan mendatangkan berkah langit dan bumi jika sekiranya penduduk-penduduk dalam negeri itu beriman, menjauhi dari segala bentuk kesyirikan, dan kemaksiatan. Namun sebaliknya jika notabene penduduk di negeri itu ingkar terhadap aturan ayat yang telah Allah turunkan, maka tidak akan ada keberkahan untuk negeri itu, yang ada hanya siksa yang hal ini bukan hanya akan dirasakan oleh pelaku maksiat itu sendiri saja namun untuk keseluruhan negeri itu. Tidakkah kita ingat ketika umat nabi luth berbuat kemaksiatan, dampaknya seluruh kota dihancurkan, bahkan tikus-tikus, dan hewan ternak yang tidak bersalah dan bersembunyi di kota itu turut dihancurkan oleh Allah sebagai akibat dari kemaksiatan yang merajalela. Bagaimana tidak, walaupun kita beriman dan tau sejatinya perbuatan itu salah namun enggan untuk saling mengingatkan dan malah memberi pembenaran atas prilaku yang sebenarnya menyimpang dan salah itu, maka itu turut menjadi dosa kita. Sebab, tegas dalam hadis nabi Allah perintahkan “jika kamu melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu, jika tidak sanggup maka cegahlah dengan lisanmu, namun jika tidak sanggup cukuplah hatimu yang tidak membenarkan (atas kemaksiatan itu)”. Namun apa yang terjadi di negeri ini? Banyak sekali yang membenarkan prilaku LGBT atas dasar HAM.

Dari paparan diatas tertata jelas bahwa LGBT yang berdalih HAM nyatanya telah melanggar batasan HAM itu sendiri, mereka cenderung tidak menghargai hak orang lain untuk dapat merasakan ketentraman dan ketenangan hidup di masyarakat. Para aktivis HAM seolah-olah membela hak asasi LGBT yang minoritas namun mengindahkan hak mayoritas. Ini tentunya merupakan pemikiran yang salah bagi penggiat HAM. Bagaimana mungkin aturan besar dikalahkan oleh aturan kecil. Ketenangan yang besar diganggu oleh ketenangan yang lebih kecil. Bukan bermaksud diskriminasi tapi sekedar untuk meluruskan jati diri bahwa sepatutnya kita harus kembali pada jalan lurus yang hal ini telah tumbuh dan berkembang pada masyarakat heteroseksual. Prilaku salah hendaknya diluruskan bukan malah didukung dengan pembenaran hak asasi yang menyalahi dari hak asasi manusia yang dikodratkan ilahi.

LGBT sejatinya disebabkan oleh salah asuhan, dan salah lingkungan dimana anak itu tumbuh kembang. Anak merupakan kertas kosong yang orang tua dan lingkungannyalah yang kelak akan mengisi kertas kosong itu sendiri. Mau jadi apa si anak tergantung pada pola asuhan dan lingkungan. Pola asuhan dan lingkungan yang salah akan menyebabkan kesalahan prilaku juga pada si anak. Bagaimana mungkin si anak laki-laki akan menjadi pribadi yang tegas jika di masa kecil sering didandani jilbab atau baju perempuan yang walau untuk lucu-lucuan, sejatinya lucu-lucuan tersebut hanya akan menjadi sugestif yang akan mempengaruhi pola pikir si anak yang belum tau apa-apanya itu. dan bagaimana mungkin pula seorang anak laki-laki akan menjadi pribadi yang tegas jika masa kecilnya ditemani oleh mainan boneka dan segala macam permainan anak-anak perempuan dan pergaulannya juga dengan perempuan. Pola asuhan yang tepat oleh keluarga, juga lingkungan yang tepat akan melahirkan pribadi yang tepat.

Tidak boleh ada hak asasi yang menyalahi hak asasi yang dikodratkan ilahi. Juga tidak boleh ada hukum negara yang melanggar hukum yang diwariskan ilahi. Semua agama di negeri ini jelas melarang prilaku LGBT dan memberikan pembenaran atas semua itu. Sebab itu, tidak akan logis jika negara beragama yang berlandas ketuhanan yang esa ini memiliki hukum yang menyalahi aturan dari agama yang ada di negara ini. Na’udzubillah.

Masjid sebagai Tempat Ibadah sekaligus Sumber Pustaka Umat

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan” (Q.S Al-‘Alaq : 1). Kutipan firman diatas merupakan isyarat dari Tuhan yang menggambarkan sebegitu pentingnya perintah membaca sehingga firman ini dijadikan sebagai wahyu pembuka yang disampaikan oleh malaikat Jibril atas perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Membaca itu penting sebab membaca dapat membuka cakrawala fikiran menjadi begitu luas. Segala disiplin ilmu pengetahuan dapat didapatkan hanya dengan membaca. Dunia yang luas akan mudah kita kenali hanya dengan membaca buku-buku tentangnya. Tak perlu jauh-jauh ke luar negeri hanya untuk mengetahui bagaimana peradaban dan kuliner mereka. Hanya dengan membaca kita tahu. Tak perlu sulit membedah untuk mengetahui bentuk dan fungsi organ dalam tubuh manusia, namun hanya dengan membaca, segala informasi tersebut akan kita dapatkan.

Sejarah kehidupan dan peradaban manusia membuktikan bahwa membaca merupakan modal terpenting untuk membangun sebuah peradaban kearah kemajuan sastra, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Dunia mencatat, Islam pada abad klasik (7-10 M) mengalami kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan. Di masa itu, peran buku sangatlah sentral dalam tatanan kehidupan. Kemajuan ini dibuktikan dengan banyaknya ilmuan muslim yang lahir di masa itu. Ada Ibnu Rusyd dengan karya-karyanya terkenal di kalangan ilmuan eropa. Karyanya seperti Kuliaat Fii al –Tib ( Buku kedokteran ) dan Fasl Al-Maqal Fi Ma bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (Filsafat dalam islam dan menolak segala faham yang bertentangan dengan filsafat). Ada juga Ibnu Sina dengan Qanun Fi Al-Thib yang monumental dikalangan dunia Barat hingga tak heran jika Ia dijuluki sebagai “Bapak Pengobatan Modern” disana. Selain itu, ada juga Al- Biruni yang merupakan Matematikawan, Astronom, Fisikawan, penulis ensiklopedia, Ahli Farmasi, dan guru yang banyak menyumbangkan fikirannya di bidang Matematika, Filsafat, dan obat-obatan. Sumbangansihnya dibidang ilmu matematika diantaranya aritmatika teoritis dan praktis, penjumlahan seri, analisis kombinatorial, kaidah angka tiga, bilangan irasional, teori perbandingan, definisi aljabar, teorema Archimedes, geometri, dan masih banyak lagi sumbangan pemikirannya dibidang matematika ini. Al-Khawarizmi yang dikenal sebagai guru Aljabar di Eropa, Ibnu Ismail Aljazari yang merupakan penemu konsep modern Robotika dan masih banyak lagi sumbangsih-sumbangsih ilmuan muslim pada masa itu. Semua tak lain adalah buah dari membaca. Dengan membaca mereka mampu membuka cakrawala fikiran kearah kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban.

Untuk mendapatkan bahan bacaan dibutuhkan suatu sarana prasarana yang dapat mendukung untuk terciptanya generasi emas umat islam yang gemar membaca ini, yang dalam hal ini perpustakaan. Secara umum perpustakaan dapat kita artikan sebagai pusat pengelolaan koleksi bahan pustaka baik dalam bentuk buku, video, film, Audio, dan bentuk fisik sumber pustaka lainnya yang digunakan sebagai media pembelajaran maupun sebagai media penelitian.

Namun, untuk saat ini pemikiran lama mengenai perpustakaan yang hanya merupakan tempat penyimpanan koleksi buku-buku, dan bentuk fisik sumber pustaka lainnya yang disimpan di dalam gedung sedikit demi sedikit mulai tergeser. Perpustakaan tidak hanya difungsikan sebagai tempat penyimpanan sumber pustaka saja, namun difungsikan juga sebagai sebagai tempat manajemen dari semua sumber pustaka itu.

Masjid yang pada dasarnya difungsikan sebagai sentral utama segala aktifitasan keummatan, sepatutnya tidak hanya digunakan sebagai tempat sujud saja sebagaimana pengertian harfiahnya dari kata sajada yang bermakna tempat sujud. Namun, perlu juga dilirik makna secara istilahnya yang bermakna sebagai tonggak dasar dari pusat keummatan yang meliputi sebagai tempat ibadah, muamalah, dan pendidikan umat.

Suryo AB (AlTasamuh-2003) mengatakan di era kebangkitan umat saat ini, fungsi dan peran masjid sangat diperhitungkan. Setidaknya ada empat fungsi masjid dalam manajemen potensi umat, diantaranya :
1. Pusat pendidikan dan pelatihan.
2. Pusat perekonomian umat.
3. Pusat penjaringan potensi umat dan
4. Pusat kepustakaan.

Masjid sebagai pusat berkumpulnya umat sudah sewajarnya tidak dijadikan sebagai tempat ibadah saja. Masjid hendaknya dijadikan juga sebagai pusat ilmu pengetahuan dimana didalamnya terdapat buku-buku yang dapat diakses oleh umat. Apa gunanya masjid yang megah jika hanya difungsikan sebagai tempat ibadah mahdah. Ramainya hanya pada saat sholat lima waktu saja. Untuk itu, perlu disediakan satu ruangan khusus di masjid sebagai ruangan yang berisi buku-buku yang dapat diakses oleh umat. Tak terbatas pada buku-buku agama saja. Penting juga diisi dengan buku-buku umum yang berguna bagi para pelajar dan mahasiswa serta masyarakat sehingga masjid kembali hidup dengan nuansa pendidikan yang berguna untuk pencerdasan umat, menciptakan generasi emas umat islam di masa mendatang.

Selain itu, untuk keteraturan dan kemudahan penggunaan, sebuah perpustakaan masjid memerlukan sebuah sistem yang bertugas untuk memilah-milah dan mengelompokkan bahan pustaka sekaligus sebagai pemberi tanda bagi setiap bahan pustaka itu sehingga menjadi mudah untuk dicari dan ditemukan. Sistem semacam ini dikenal dengan sebutan Sistem Klasifikasi Bahan Pustaka. Klasifikasi berfungsi untuk membagi bahan-bahan pustaka yang ada menjadi berbagai kelompok sesuai dengan tema, judul, penulis, dan/atau parameter-parameter lainnya yang akan memudahkan penempatan bahan-bahan pustaka tersebut dalam rak-rak buku, serta untuk memudahkan proses penemuan buku-buku tersebut ketika dibutuhkan. Selain itu, didalam perpustakaan masjid perlu dibuat beberapa ruangan seperti ruangan untuk diskusi, pengkajian dan penelitian, serta ruangan membaca (Ribkhi Mustofa Alyan:1999:162). Pengelompokan ruangan ini difungsikan untuk memudahkan bagi pengunjung yang umumnya memiliki tujuan yang berbeda ketika berkunjung ke perpustakaan. Sebab diantara mereka mungkin ada yang ingin berdiskusi, membaca, atau sekedar mencari bahan referensi untuk dipinjam. Dalam hal ini jika ruangan diskusi digabungkan dengan ruangan membaca tentunya akan mengganggu konsentrasi dari pembaca itu sendiri. Maka dari itu diperlukan pengelompokan ruangan tersebut. Sistem tata kelola semacam ini biasa dilakukan pada perpustakaan-perpustakaan masjid tradisional di Kairo misalnya. Didalam masjid tersebut disediakan ruangan khusus yang terdiri dari satu ruang berkubah panjang yang berhubungan dengan ruangan-ruangan penyimpanan buku. Penguasa pada masa itu membangun tangga-tangga dari kayu berhias setinggi orang dengan lebar 3 yard yang mempunyai rak-rak dari atas sampai bawah disepanjang ruangan besar dan ruangan penyimpanan buku. Hal diatas setidaknya perlu diterapkan pada perpustakaan masjid modern untuk menciptakan perpustakaan masjid dengan tata kelola yang baik, dan masjid yang tidak hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja tapi juga sebagai tempat memperoleh ilmu pengetahuan, sebagai sumber pustaka umat.

Tidak Memberikan Fasilitar Bermotor untuk Anak Usia dibawah 17 Tahun

Siapa yang tidak mengenal sepeda motor, kendaraan roda dua ini seakan menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia yang berguna sebagai penunjang dalam menjalankan segala aktifitasnya. Tak terbatas pada masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaanpun tak luput memiliki kendaraan roda dua ini. Rata-rata setiap rumah di Indonesia setidaknya memiliki satu buah kendaraan sepeda motor. Jumlah sepeda motor di Indonesia berdasarkan data yang dihimpun oleh badan pusat statistik tahun 2013 yaitu sebesar 84.732.652 kendaraan. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepala Bidang Manajemen Operasional dan Rekayasa Korlantas Mabes Polri Kombes Pol Unggul mengatakan bahwa pertumbuhan sepeda motor dalam setahun setidaknya sekitar 12 persen. Angka pertumbuhan ini terbilang cukup besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan kendaraan roda empat. Di lain hal, berdasarkan Data Kepolisian RI menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun. Dari sumber yang lain, Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Selain itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan, data dari Korps Lalu-Lintas POLRI mengungkapkan bahwa persentasi korban dengan latar belakang pendidikan SLTA mencapai 57 persen, untuk lulusan SLTP sebesar 17 persen, lulusan sekolah dasar (SD) sebanyak 12 persen, dan kemudian disusul oleh lulusan perguruan tinggi sebesar 6 persen. Angka kecelakaan untuk pengguna sepeda motor diatas terbilang cukup besar dan salah satu penyumbang dari angka kecelakaan lalu lintas tersebut adalah anak-anak usia sekolah pada rentang usia 17 tahun ke bawah yang tidak taat aturan serta belum memiliki surat izin mengemudi.

Menggunakan sepeda motor di jalan raya pada usia 0-16 tahun merupakan pelanggaran lalu lintas disebabkan di usia ini tentunya anak-anak sudah pasti belum memiliki surat izin mengemudi yang merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi bagi setiap pengendara di jalan raya. Cukup memberatkan sanksi yang diberikan untuk pelanggar aturan lantas, pidana kurungan maksimal 4 bulan atau dengan denda paling banyak 1000.000,00 siap-siap tersita dari kantong pribadi anda. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 281 undang-undang nomor 22 tahun 2009 yang secara jelas menyebutkan bahwa “setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak memiliki surat izin mengemudi sebagaimana dalam pasal 77 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp.1000.000,00.

Selain berlandas aturan diatas, usia 0-16 yang merupakan usia transisi dari anak-anak menuju dewasa yang dimasa ini emosi seorang anak pada usia ini cenderung belum stabil, suka ikut-ikutan, yang hal ini sangat berpeluang untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran lain seperti ugal-ugalan dalam berkendara, berboncengan melebihi kapasitas, tidak menggunakan helm dan lain sebagainya. Pelanggaran tersebut tentunya membahayakan bagi si anak maupun bagi pengendara lain. Kecelakaan lalu lintas merupakan akibat terburuk yang akan dialami si anak.

Pelanggaran penggunaan sepeda motor untuk anak usia 17 tahun kebawah ini setidaknya didukung oleh beberapa faktor diantaranya oleh faktor keluarga, lingkungan sekolah, maupun dari diri remaja itu sendiri. Orang tua yang begitu memanjakan si anak dengan semisal membelikan sepeda motor untuk si anak ketika si anak berulang tahun, juara kelas dan sebagainya tentunya akan menjadi pendukung pelanggaran lalu lintas oleh anak dibawah umur. Sikap seperti ini disebabkan oleh kurang mengertinya orang tua terhadap aturan berkendara di jalan raya dan dampak negatif yang kemungkinan timbul ketika anak-anak dibiasakan mengendarai sepeda motornya sendiri. Jangan sampai niat bermaksud memanjakan si anak namun akhirnya malah jadi petaka bagi anak itu sendiri. Disamping itu, lingkungan sekolah yang membiarkan siswa-siswanya membawa kendaraan bermotornya sendiri juga menjadi faktor pendukung bagi pelanggaran lalu lintas ini. Sekolah harusnya sadar betul bahwa usia SD hingga SMA dengan rentang usia 0-16 tahun merupakan usia yang mana seorang anak belum diperbolehkan mengendarai kendaraannya sendiri di jalan raya atas dasar belum memiliki surat izin mengemudi. Sepatutnya anak-anak di usia sekolah ini pergi ke sekolahnya cukup diantar oleh orang tua saja atau mungkin menggunakan kendaraan umum agar lebih aman dan terhindar dari kecelakaan lalu lintas sebagai akibat prilaku berkendara yang menyalahi aturan. selain kedua faktor diatas, faktor dari diri remaja itu sendiri juga berpengaruh, yang masa remaja ini merupakan masa transisi pencarian jati diri yang begitu menggelora turut menjadi faktor pendukung terjadinya pelanggaran. sikap gengsi diantar orang tua dan keengganan menggunakan transportasi umum disebabkan takut telat sekolah dan berbagai alasan lain menjadi alasan lumrah bagi remaja usia sekolah. Selain itu Bermotor juga dijadikan ajang untuk menarik perhatian lawan jenis yang hal ini merupakan satu dari sekian banyak alasan mengapa remaja usia sekolah cenderung menggunakan sepeda motor. Dalam hal ini peran orang tua harus secara tegas memberikan aturan dengan tidak memberikan kendaraan bermotor untuk anak di usia 17 tahun ke bawah. Sayang terhadap anak bukan berarti memberikan segala yang diinginkan anak, tapi cukup memberikan apa yang menjadi kebutuhan utama anak sesuai dengan porsinya.

Sebuah teladan yang baik datang dari sosok orang tua yang sekaligus menjabat sebagai Kapolda Kalbar Brigadir Jenderal (Brigjen) Pol Arief Sulistyanto. Bukan merupakan hal sulit yang dapat dilakukan oleh seorang sekelas Kapolda Kalbar untuk membelikan sepeda motor bagi anak lelakinya yang belum cukup umur. Namun dengan alasan mendidik anak, niat tersebut sengaja Ia urungkan. Beliau malah menekankan kepada kedua anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk ke kampus menggunakan sepeda disebabkan oleh belum cukupnya umur si anak untuk membuat surat izin mengemudi sebagai kewajiban berkendara di jalan raya. Sebuah pendidikan yang patut ditiru selain membiasakan anak untuk berprilaku mandiri dengan tidak memanjakannya secara berlebih, hal ini juga menjadi teladan positif guna mengurangi angka kecelakaan di jalan raya pada anak. Didikan yang dilakukannya ternyata berhasil untuk si anak. Untuk anak pertamanya, Bhredipta yang kini tinggal dan kuliah di Leiden, Belanda, sehari-harinya naik sepeda ontel, ke kampusnya jalan kaki. Sikap yang patut ditiru untuk anak sekelas Kapolda Kalbar sebagai dampak positif atas pembiasaan baik yang ditanamkan oleh orang tuanya. Selain itu hal ini juga menjadi teladan bagi anak-anak di Indonesia bahwa hidup itu punya aturan yang harus senantiasa kita patuhi, salah satunya aturan dalam berkendara di jalan raya. Hal diatas merupakan sikap bijak orang tua dan sikap patuh anak yang patut ditiru oleh orang tua lainnya dalam mendidik si anak agar anak nantinya tidak manja terhadap fasilitas hidup yang diberikan orang tua dan menghindari sikap konsumtif serta menamkan sikap mandiri sedari kecil pada si anak. Selain itu sikap diatas juga merupakan kontribusi nyata kita untuk mengurangi angka kecelakaan di jalan raya, yang salah satunya disebabkan oleh prilaku ugal-ugalan dan bentuk-bentuk pelanggaran lalu lintas yang lain yang disebabkan oleh prilaku berkendara anak-anak yang belum cukup umur.

Amanat Rumusan Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945


Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan konstitusi sekaligus sebagai dasar hukum tertinggi dalam suatu perundang-undangan. Sebagai Konstitusi yang sekaligus merupakan dasar hukum tertinggi, UUD 1945 mempunyai mempunyai aturan, kebijakan dan amanat yang harus dilaksanakan oleh setiap penyelenggara Negaranya.

Rumusan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 34 ayat 1 secara tegas menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi memelihara ini mencakup menjaga, merawat, mendidik, dan menyelamatkan. Kata menjaga memiliki definisi mengiringi, mengawasi, dan melindungi dari setiap bahaya, yang artinya setiap petinggi negara termasuk pemerintah dan badan-badan sosial yang lain harus dan wajib untuk selalu berperan serta melindungi, mengiringi, dan menyelamatkan setiap fakir miskin dari setiap mara bahaya yang mengancam nyawa termasuk bahaya dari perlakuan buruk dan diskriminatif, bahkan bahaya kematian disebabkan kelaparan. Berapa banyak anak-anak kecil di tanah air ini yang menderita busung lapar disebabkan oleh himpitan ekonomi yang kian hari kian makin memburuk yang berimbas pada semakin jatuh dan miskinnya mereka, jangankan untuk hidup yang layak, untuk makanpun sudah sedemikan sulit. Gizi buruk menjadi hal biasa sebab apa yang mereka makan merupakan makanan yang tidak layak untuk dimakan, mati dalam kelaparan tak urung kian menyengsarakan fakir miskin di sudut-sudut pedalaman, di NTB, NTT, dan sejumlah daerah di Indonesia lainnya.

Memelihara juga berarti mendidik, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan akses pendidikan murah bahkan gratis terhadap anak-anak kurang mampu di Indonesia. Pendidikan merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Tanpa pendidikan yang mumpuni, suatu bangsa akan sulit berkembang apalagi untuk bersaing dengan negara lain. Usaha untuk akses pendidikan yang mudah dan murah setidaknya sudah ada hingga saat ini seperti dengan diluncurkannya program Beasiswa kurang mampu (BKM), Bidikmisi, maupun program beasiswa bentukan pemerintah yang lain. Namun tetap saja ada masalah besar yang kian sulit untuk terselesaikan sebagai akibat dari bobroknya birokrasi, terkhusus pada masalah ketidakmerataan yang berujung pada krisis kesenjangan terkhusus bagi mereka yang berada di daerah pedalaman. Pemerintah seakan sulit untuk menjangkau daerah-daerah kecil, mereka terpinggirkan dari akses pendidikan.

Pemerintah yang merupakan pemimpin suatu negara harus mampu menyelamatkan setiap jengkal kesulitan rakyat di tanah air ini dari kemiskinan, kelaparan, hingga kebodohan. Setiap petinggi negara harus sadar betul akan peran mereka sebagi pemimpin yang memikul amanah rakyat. Mereka harus belajar mencintai dan menjadikan setiap jengkal penderitaan rakyat menjadi satu penderitaan yang patut dirasakan olehnya.
Ada kisah menarik yang diceritakan oleh Khalid Muhammad dalam bukunya Ar-rijal Haular Rasul yang patutnya dijadikan pembelajaran tatkala madinah dilanda krisis ekonomi, tampillah satu sosok teladan, khalifah Umar bin Khattab yang patut dicontoh oleh petinggi negeri ini. Diceritakan ketika krisis yang berkepanjangan itu terjadi, seorang sahabat diperintahkan untuk menyembelih hewan ternak untuk dibagikan kepada kaum muslimin yang kelaparan. Ketika tiba waktu makan, para petugas memilihkan satu bagian yang digemari oleh khalifah berupa hati dan punuk unta. Dalam kamus petinggi kita, umar yang posisinya sebagai khalifah sepatutnya layak menerima itu. Namun itu semua berbanding terbalik dengan apa yang akan dikatakan Umar. Umar berkata “Aku akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya aku memakan daging lezat ini dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat”. Disamping itu, diceritakan juga tatkala makan, Khalifah Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum ia melihat rakyatnya yang kelaparan menyuapkan makanan di mulut mereka.

Inilah sosok pemimpin yang sepatutnya dijadikan teladan bagi setiap petinggi negeri ini yang ketika rakyatnya dilanda kesusahan, pemimpin juga harus turut merasakan kesusahan itu. Pemimpin harus menjadi tameng bagi rakyatnya dikala dilanda kesulitan. Bukan malah bersembunyi dibelakang, merasa tidak berdosa atas setiap krisis yang dirasakan oleh rakyat sebab kepemimpinannya. Khalifah Umar mengajarkan bahwa pemimpin harus merasakan hal yang paling buruk yang dirasakan oleh rakyatnya, bahkan ia harus merasakan yang lebih buruk dari itu sehingga seorang pemimpin menjadi sadar akan pikulan amanah yang diembannya, seorang pemimpin harus sadar bahwa mereka hakikatnya bukanlah penguasa yang dapat bahagia diatas penderitaan rakyat. Pemimpin adalah wakil rakyat yang menjadi pesuruh rakyat yang menjalankan amanah rakyat. Umar yang menangis ketika diamanahkan menjadi khalifah menjadi pembelajaran bahwa menjadi pemimpin itu bukanlah satu keistimewaan yang patut disyukuri dan diperebutkan. Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus menjadi tameng bagi setiap krisis yang dirasakan oleh rakyat, dari kemiskinan, dari kebodohan, dari kelaparan. Seorang pemimpin yang menjadi petinggi negara harus mampu mensejahterakan bukan malah menyengsarakan.

Agamis Bukan Berarti Ekstrimis Apalagi Teroris

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku (QS. Azzariyat : 56 ). Kutipan firman diatas merupakan satu bentuk penegasan dari Tuhan kepada makhluknya terkhusus kepada jin dan manusia bahwa tujuan diciptakannya mereka adalah mutlak hanya untuk beribadah kepadanya. Ibadah dalam artian menjalankan segala apa yang diperintahkannya sebagaimana dimaktubkan dalam Alqur’an dan Assunnah (Hadits nabi Muhammad SAW) dan menjauhi segala apa yang dilarangnya. Ada beragam bentuk ibadah yang harus dilaksanakan manusia sebagai makhluk, diantaranya ada yang dianamakan sebagai ibadah mahdah dan ada pula yang dinamakan sebagai ibadah muamalah. Ibadah mahdah merupakan ibadah vertikal, terkhusus hubungan antara manusia dengan rabbnya seperti ibadah shalat, puasa, dan haji serta tidak melakukan kesyirikan terhadap Zatnya. Ibadah muamalah merupakan ibadah horizontal, terkhusus hubungan antara manusia dengan manusia lainnya seperti tolong menolong, berprilaku adil, bersikap jujur, amanah dan segala macam bentuk perbuatan baik lainnya.

Sebagai makhluk yang sadar betul akan tujuan hidupnya, manusia yang taat akan senantiasa melakukan segala apa yang diperintahkan oleh Tuhannya, tak terkhusus pada ibadah yang wajib saja namun juga diselingi dengan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Mereka senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah, mengikuti berbagai macam kajian ilmu agama, menjaga sikap serta tutur katanya. Disamping itu diantara mereka juga ada yang melakukan ibadah-ibadah sunnah lainnya seperti memanjangkan jenggot, menggunakan celana diatas mata kaki, bahkan tidak jarang bagi kaum wanitanya menggunakan cadar. Hal semacam ini merupakan satu bentuk totalitas pengabdian seorang hamba kepada rabbnya.

Namun sangat disayangkan hal semacam ini justru dianggap sebagai hal yang aneh di mata sebagian orang, tak urung juga di kalangan tertentu kaum muslimin. Mereka yang mencoba menjalankan sunnah seperti memanjangkan jenggot, menggunakan gamis dianggap sebagai kaum ekstrimis, kaum yang terlalu agamis, atau mungkin dianggap sebagai kaumnya teroris.

Mereka yang mencoba totalitas dalam pengabdian tak urung dideskriditkan, mereka diasingkan dari pergaulan. Wanita bercadar dijadikan sebagai bahan lucu-lucuan, bahan ejekan hingga tak heran jika ada julukan “ninja” yang disematkan terhadap wanita yang ingin totalitas mengabdi terhadap rabbnya, yang senantiasa menjaga diri dari fitnah setiap orang yang memandang keelokan wajahnya. Di lain hal, berpakaian serba terbuka dijadikan sebagai ajang bangga-banggaan, yang terseksi dianggap sebagai yang terindah dan yang terbaik. Yang buka-bukaan diberi beragam pujian, disorot bah artis di dunia televise. Di lain hal yang tertutup malah dijadikan bahan ejekan, bahan lucu-lucuan, atau mungkin dianggap sebagai orang yang menakutkan, ekstrimis, teroris. Naudzubillahi min dzalik.

Sungguh amat disayangkan pernyataan semacam ini, terkhusus jika diucapkan dari lisan kaum muslimin. Mereka lebih senang dan bangga jika melihat dan menjadi bagian dari kaum hedonis yang berprilaku modernis, berpakaian serba terbuka, mengundang syahwat bagi lawan jenisnya, lupa Tuhan, lupa akan hakikatnya ia diciptakan. Manusia hakikatnya ada dan dilahirkan didunia ini hanyalah untuk beribadah kepada penciptanya, tidak untuk menikmati kesenangan dunia, bermegah-megah, berprilaku dan berpakaian semaunya, melainkan fokus untuk mencari bekal akhirat sana yang kekal abadi selama-lamanya. Untuk mencari bekal akhirat seorang manusia harus dengan sungguh-sungguh melaksanakan segala perintah rabbnya, mengikuti segala apa yang dicontohkan oleh rasulnya, salah satunya yaitu dengan mengikuti sunnahnya. Sebab itu, totalitas pengabdian seorang hamba merupakan suatu bentuk kemutlakan yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia, terkhusus umat muslim dunia. bersikaplah sebagaimana sikap orang muslim sesungguhnya, berpakaianlah sebagaimana berpakaian orang muslim sejatinya. Tidak perlu malu atas anggapan-anggapan kaum liberalis. Dan untuk manusia yang belum mampu melaksanakan sunnah, hargai dan sokonglah mereka, bukan malah mendeskriditkan mereka, menganggap mereka ekstrimis, aneh, atau mungkin menjuluki mereka sebagai teroris. Agamis merupakan fitrah manusia. Agamis tak patut disamakan dengan ekstrimis, apalagi teroris.

Pukulan Kecil, Bukti Cinta Seorang Guru


            Ada dua bentuk pengendalian sosial yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran yaitu preventif dan represif. Preventif merupakan bentuk pengendalian sosial disaat sebelum terjadinya pelanggaran. Namun ketika pelanggaran sudah terjadi maka tindakan represif menjadi langkah terakhir untuk menindak pelanggaran. Represif merupakan upaya yang bisa dilakukan guna menindak suatu  pelanggaran yang sudah terjadi baik untuk pelanggaran yang sebelumnya sudah dilakukan pencegahan, maupun untuk pelanggaran yang terjadi sebelum dilakukan pencegahan.
            Tindakan represif salah satunya dapat dilakukan dengan memberikan hukuman bagi pelanggar yang bertujuan memberikan efek jera bagi pelanggar itu sendiri agar kedepannya pelanggaran tersebut tidak diulang kembali. Hal ini sependapat dengan hadits nabi yang berbunyi “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hati (yang tidak membenarkan), dan hal itu adalah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim)”. Kata “siapa yang melihat kemungkaran” ini merujuk pada suatu masalah yang sudah atau sedang terjadi. Dan tentunya bentuk pengendalian sosial yang sesuai dengan hadits diatas satu-satunya adalah tindakan represif. Sesuai dengan hadits diatas, bentuk tindakan represif tersebut dilakukan dengan berbagai cara diantaranya merubah dengan tangan, dengan lisan, dan yang terakhir dilakukan dengan penolakan hati yang tidak membenarkan atas kemungkaran atau pelanggaran tersebut.
            Merujuk dari sisi makna, bentuk tindakan represif pertama pada kalimat “rubahlah dengan tangan” pada hadits diatas dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, pertama yaitu dengan menghalangi pelaku dengan harapan  agar pelaku tidak jadi melakukan tindakan tersebut, kedua dengan menghilangkan alat yang digunakan pelaku untuk melakukan pelanggaran, dan yang ketiga yaitu dengan memukul pelaku agar menghentikan tindakan tersebut. Bentuk tindakan represif  kedua sesuai hadits diatas yaitu dengan cara merubahnya dengan lisan. Cara ini dilakukan dengan memberikan nasihat-nasihat terhadap pelaku agar menghentikan prilaku menyimpangnya. Sedangkan cara yang ketiga yaitu merubahnya dengan hati. Cara ketiga ini merupakan cara terakhir atas ketidakmampuan kita menumpas pelanggaran yang tampak didepan mata kita disebabkan oleh keterbatasan fisik sehingga jika kita melakukan dua cara diatas ditakutkan akan mengancam keselamatan diri kita. Namun cara ketiga ini dikatakan sebagai selemah-lemahnya iman seseorang.
            Di zaman sekarang ini, orang-orang umumnya lebih senang menggunakan cara ketiga untuk menghadapi pelanggaran yang tampak didepan matanya disebabkan oleh takutnya mereka akan terjerat masalah yang akan merugikan mereka baik secara moril maupun materiil. Hal ini tak luput juga dilakukan oleh beberapa guru-guru kita terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh murid-muridnya. Hal ini nyatanya akan menjadi satu bentuk ketidakpedulian terhadap tumbuh kembang peserta didik di era yang mengatasnamakan hukum dan HAM seperti saat ini. Jeweran, pukulan kecil untuk murid yang melakukan pelanggaran yang walau niatnya untuk membentuk sikap disiplin pada diri diri peserta didik nyatanya saat ini dikatakan sudah menjadi satu bentuk pelanggaran HAM.
            Akan beda kasusnya jika hal ini terjadi pada tempo dulu. Pendidikan pada masa lalu, begitu menekankan sikap disiplin pada diri anak. Hal ini didukung pula oleh orang tua di masa itu. Orang tua di masa lalu tidak akan pernah menuntut guru yang memukul anaknya jika hakikatnya pukulan tersebut dimaksudkan agar si anak tidak melakukan kesalahan serupa serta dimaksudkan pula agar si anak segan terhadap gurunya lalu mau mendengarkan segala apa yang disampaikan dan dinasehatkan oleh gurunya. Contoh kecil, guru-guru mengaji pada masa lalu tidak pernah tidak membawa rotan saat mengajar anak didiknya. Ketika anak didiknya tidak serius membaca Alquran, maka si guru tidak akan segan untuk melayangkan pukulan kecil pada si anak. Orang tua pada masa itu faham betul akan bentuk pendidikan semacam ini dan mereka mendukung, sebab mereka sadar betul bahwa pukulan kecil semacam ini adalah bentuk kepedulian dan cinta seorang guru terhadap muridnya. Hasilnya dapat kita lihat, abang-abang kita, orang tua kita, kesemuanya jadi pandai mengaji. Ala bisa karena dipaksa. Disamping itu, anak-anak didikan zaman dulu kalau dilihat dari sisi sikap mereka, karakter, serta kepribadian mereka akan akan tampak jauh berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak hasil didikan masa kini.
            Perbedaan sikap, karakter, serta kepribadiaan tersebut sangat mudah untuk kita jumpai. Dapat kita lihat, Berkat hukum dan HAM yang ditujukan untuk guru yang bertindak keras mendidik anak didik ,hasilnya  anak-anak didik  di masa ini menjadi cenderung bermental tempe, manja, senang berlindung di ketiak” orang tuanya. Selain itu, anak-anak di masa ini cenderung tidak lagi segan terhadap guru-gurunya. Berbagai bentuk pembangkangan, sikap kurang ajar sangat umum kita jumpai pada diri anak sekolah yang dilakukan terhadap guru-gurunya. Nama guru dijadikan sebagai bahan ejekan, guru garang dibenci bahkan tak urung dimaki-maki, dan masih banyak lagi bentuk kemunduran moral anak yang terjadi saat ini sebagai akibat tidak adanya lagi sikap menghormati guru.
            Ada sebuah cerita menarik yang datang dari Jordania yang dimuat di salah satu Koran di Malaysia. Seorang hakim mengejutkan semua peserta sidang. Ia turun dari tempat duduknya menghampiri terdakwa lalu mencium tangan terdakwa tersebut. Terdakwa yang seorang guru SD tersebut heran terhadap tindakan si hakim. Si hakim berkata, “inilah hukuman yang kuberikan kepadamu, guru”. Diceritakan bahwa terdakwa tersebut merupakan guru SD yang dilaporkan oleh orang tua yang merasa anaknya dipukul oleh guru SD tersebut. Siapa sangka sosok yang kini menjadi hakim tersebut merupakan anak didik dari terdakwa tersebut. Hakim tersebut sadar betul bahwa pukulan dari guru bukanlah merupakan bentuk kekerasan. Pukulan tersebut hanya dimaksudkan agar si anak didik mengerti akhlak dan lebih disiplin nantinya. 
           Sepenggal cerita diatas patutnya dijadikan renungan bagi orang tua, serta penegak hukum di masa ini. Cerita guru yang menjadi terdakwa atas kasus pemukulan terhadap peserta didik ini bukan hanya terjadi satu dua kasus di negeri ini. Seperti yang dirilis di Kabar Sumatera, Sudah menjadi fenomena, guru saat ini terkesan membiarkan siswanya. Mereka hanya menjalankan kewajiban mereka mengajar, setelahnya mereka pulang. Bukannya mereka tidak mau mendidik muridnya lebih baik, memperhatikan sikap dan moral peseta didik, mereka sudah terlanjur takut dilaporkan oleh wali murid seperti yang dialami rekannya. Sudah berapa banyak guru-guru di Sumatera Selatan yang harus berurusan dengan kepolisian disebabkan mereka yang memukul anak didiknya yang melakukan kesalahan.

            Hal ini sepatutnya dijadikan cerminan bagi orang tua dan aparat penegak hukum yang cenderung mempermasalahkan masalah diatas. Apa jadinya seorang anak jika guru-gurunya sudah enggan peduli menegur anak bapak ibu ketika melakukan kesalahan. Anak didik sudah tidak lagi menghormati gurunya. Sebab bagaimana mungkin materi pelajaran akan dapat diterima jika apa yang disampaikan oleh sang guru hanya didengar sebatas angin lalu, guru-guru dilawan dan cenderung tidak lagi disegani di zaman yang dimana-mana selalu dikaitkan dengan  hukum dan HAM. Sepatutnya kita sadar bahwa pukulan kecil dari gurumu adalah bukti cintanya mereka terhadapmu.

Keikhlasan Guru Ngaji di Pedesaan



           Sebaik-baik manusia, adalah mereka yang belajar Alquran dan mengajarkannya (Hr. Bukhari). Hadist diatas menjelaskan bahwa ada dua tipe golongan manusia yang oleh Allah dimasukkan ke dalam golongan sebaik-baiknya manusia. Golongan pertama yaitu mereka yang belajar Alqur’an. Sedangkan golongan yang kedua adalah mereka yang mengajarkannya. Mengajarkan Alquran hukumnya fardhu kifayah yang artinya merupakan kewajiban yang mengikat dalam suatu komunitas, pedesaan, atau dalam suatu wilayah tertentu yang apabila didalam suatu komunitas, pedesaan, atau dalam lingkup kewilayahan tersebut ada satu orang yang telah melaksanakan kewajiban tersebut yang artinya jika ada satu orang pengajar ngaji saja disana, maka kewajiban tersebut menjadi gugur. Sebaliknya jika kewajiban tersebut tidak ada yang menjalankannya maka dosapun ditanggung semua.
            Ada fenomena  yang menarik untuk dibahas akan sosok tenaga pendidik yang mengajarkan Alquran atau yang lebih umum dikenal sebagai guru ngaji di pedesaan. Seakan menjadi kewajiban yang tertanam dalam diri setiap warga pedesaan untuk mempelajari ilmu agama, khususnya mengaji hingga tak heran hal tersebut memacu akan banyaknya bibit-bibit yang kelak akan mampu menjadi guru ngaji disana. Untuk satu RT saja setidaknya ada satu hingga dua guru ngaji. Sebuah  fenomena menarik atas peran serta mereka sebagai tenaga pendidik yang mengajarkan Alquran. Seakan menjadi tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi, setiap guru ngaji di pedesaan tidak pernah meminta upah untuk setiap murid yang diajarnya.. Imbalan diberikan hanya jika keluarga anak didik memiliki rejeki berlebih. Jika tidak, sekedar rajin datang mengaji saja telah membuat hati si guru senang.
            Fenomena Ketulusan hati guru ngaji pedesaan  ini sepatutnya dijadikan teladan bagi setiap tenaga pendidik di tanah air ini. Tak terbatas untuk guru ngaji saja tapi untuk semua guru yang ada. Fenomena ini mengajarkan bahwa mengajar yang merupakan proses transfer ilmu harus dilandasi oleh sikap ikhlas hati bukan atas dasar atas pengharapan materi sebab kalau bicara soal materi sejatinya rezeki sudah ada yang mengatur.
            Umum kita jumpai tenaga pendidik kita yang enggan menjadi guru honor disebabkan bayaran yang sedikit dan umum juga kita jumpai tenaga-tenaga pendidik kita yang enggan mengajar di daerah pedalaman dengan alasan keterbatasan sarana dan fasilitas. Menjadi PNS serta mendapatkan tugas diperkotaan yang dengan segala kemudahan sarana prasarana merupakan hal yang diperebutkan tenaga pendidik kita. Gaji yang lumayan besar saja tidak cukup jika tugasnya dipelosok pedesaan. Hal ini mengindikasikan akan sikap materialistik pada setiap diri tenaga pendidik kita. Jangankan menjadi guru ngaji pedesaan yang diupah seikhlasnya atau bahkan tidak diupah, digaji besarpun masih tidak disyukuri mereka jika tempat tugasnya di pedalaman pedesaan.

            Uang sejatinya memang menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari siklus kehidupan sosial yang cenderung materialistik, yang segalanya harus dengan uang. Namun uang bukanlah menjadi acuan setiap tenaga pendidik untuk mengajar. Mengabdi untuk masyarakat yang merupakan tri darma perguruan tinggi sepatutnya ditanamkan didalam setiap diri tenaga pendidik kita. Karena mengajar sejatinya merupakan bentuk pengabdian. Masalah upah, gaji, dan sejenisnya merupakan prioritas belakangan sebab yakinlah masalah rezeki sudah terporsi sendiri di lauhil mahfuzh sana. Uang melimpah namun tanpa berkah hakikatnya tidak akan berarti apa-apa. Sebab jika ada banyak uangpun, jika penyakit Allah datangkan silih berganti, musibah yang tiada henti, maka uang berlimpahpun tak akan berarti.
           Fenomena Ketulusan hati  guru ngaji pedesaan merupakan teladan mulia yang patut ditiru. Sebuah tradisi keikhlasan yang turun secara turun temurun. Sebuah proses menggapai ridho dan berkah Ilahi.  Sebab hidup ini hanya butuh keberkahan dari setiap materi yang didapatkan. Tak terhitung ganjaran akhirat yang didapatkan ketika pengabdian dibalut dengan keikhlasan seperti halnya yang kelak akan didapat oleh guru ngaji pedesaan dengan upah seadanya.

Mendu, Seni Teater Khas Melayu Mempawah yang Terlupakan


        Perkembangan zaman tak elak mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai, adat-adat, serta kebudayaan daerah. Musik, teater, tarian, kesenian daerah kian hari kian kehilangan maruahnya di hati pemuda-pemudi kita. Kesenian daerah umumnya hanya diminati oleh kalangan tua saja yang sadar akan pentingnya melestarikan kebudayaan daerah yang merupakan identitas bangsa yang harus selalu dijaga. Regenerasi pelestarian kesenian daerah  ini sangat diperlukan agar kesenian khas yang telah lama dibangun oleh leluhur dapat senantiasa terjaga kelestariannya.
            Indonesia memiliki beragam suku bangsa yang mempunyai ciri khas yang dituangkan dengan kesenian daerahnya masing-masing, seperti jawa  dengan kesenian wayangnya, cina dengan kesenian barongsainya, dayak dengan berbagai macam tarian adatnya, dan beragam bentuk kesenian daerah lainnya.
            Hal ini merupakan satu bukti akan kayanya warisan kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun sangat disayangkan kesenian daerah tersebut kian hari kian semakin ditinggalkan, hampir punah sebab kurang diminati apalagi dipelajari oleh muda-mudi penerusnya.
Kesenian daerah yang hampir punah dan dilupakan terkhusus oleh masyarakat melayu Kalimantan barat yang bertempat tinggal di Dusun Malikian, Kabupaten Mempawah diantaranya adalah “Mendu”. Mendu pertama kali dikembangkan oleh 3 orang pemuda Mempawah yaitu Ali Kapot, Amat Anta dan Achmad. Ali Kapot yang berasal dari dusun Malikian ini begitu gigih dalam meneruskan teater khas Melayu ini ke anak-anaknya. Mendu merupakan bentuk teater yang mengkombinasikan seni tari, drama, silat dan berladon atau nyanyian yang berisi pantun-pantun yang disampaikan oleh satu pemain ke pemain lain secara bergantian. Teater ini ditampilkan dengan cerita-cerita kerajaan seperti kisah 1001 malam, Zainal Abidin Raja Kebanyam, Indra bangsawan, dan lain-lain. Teater ditampilkan secara apik dibaluti dengan nuansa komedi yang akan membuat ketawa bagi siapa saja yang menyaksikannya.



Dalam pertunjukannya, teater mendu dibuka dengan tarian khas melayu seperti tarian Beladun dan tarian khas Melayu lainnya. Tarian Beladun merupakan tarian pembuka Mendu yang ditampilkan dengan pasangan pria dan wanita yang memakai baju khas melayu. Untuk yang prianya menggunakan baju teluk belanga, sedangkan wanitanya menggunakan baju kurung yang semakin menambah nuansa budaya melayu saat ditampilkan.

         Setelah dibuka dengan tarian melayu, Mendu dilanjutkan dengan tampilan teater atau drama kerajaan yang dikemas begitu apik, diselingi dengan nyanyian beladun dan lawakan yang kian membuat mendu ini menjadi semakin menarik untuk dinikmati. Mendu yang dikemas dengan lawakan membuat mendu layak dijadikan sebagai  media hiburan rakyat bah Opera Van Java di televisi.  Panggung yang digunakanpun  tidaklah harus istimewa, cukup mendekorasi halaman kantor, atau halaman sekolahpun cukup untuk pementasan kesenian khas Melayu Mempawah ini.

              Teater Mendu umumnya ditampilkan di acara-acara pesta sunatan dan perkawinan. Namun itu hanya dulu, kini bah ombak yang ditelan lautan, kesenian daerah ini hampir sudah tidak pernah ditampilkan kembali. Mendu hanya ditampilkan saat even-even besar di keraton Mempawah. Hal ini mengakibatkan generasi muda saat ini menjadi tidak kenal terhadap kesenian khas daerahnya yang kini bahkan sudah diakui bahkan dalam skala nasioal.
Kementerian pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia tahun 2014 mengumumkan “Mendu” sebagai  warisan budaya tak benda milik bersama  Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau. Hal ini tentunya menggembirakan sekaligus memperihatinkan sebab warisan budaya khas Melayu yang begitu indah ini begitu jarang dikenal di tanah kelahirannya, khususnya masyarakat  Kalimantan barat yang berada di Kabupaten Mempawah. Hal ini bisa dibuktikan dengan survei lapangan secara langsung di daerah dan kemudian menanyakan perihal  “Mendu” terhadap generasi mudanya. Umum diantara mereka bahkan tidak mengenal apa “Mendu” itu yang hakikatnya merupakan seni teater daerahnya.
Hal diatas merupakan pekerjaan rumah bersama antara pemerintah dan kita selaku muda-mudi yang lahir di Kabupaten Mempawah untuk kembali mengembangkan kesenian teater khas melayu ini. Mendu dapat dikembangkan menjadi satu destinasi budaya kita. Pemerintah harus bekerja keras untuk kembali mengenalkan kesenian teater ini dengan sesering mungkin mengadakan even-even ataupun pertunjukan-pertunjukan Mendu, agar kedepannya generasi-generasi mendatang tau dan dapat lebih cinta terhadap budaya daerahnya. Kita kembalikan maruah Mendu di hati pemuda-pemudi kita sebab jika Jawa saja punya pagelaran wayang, televisi punya Opera Van Java, kita punya yang lebih indah, yaitu Mendu.