Ada
dua bentuk pengendalian sosial yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran yaitu
preventif dan represif. Preventif merupakan bentuk pengendalian sosial disaat
sebelum terjadinya pelanggaran. Namun ketika pelanggaran sudah terjadi maka
tindakan represif menjadi langkah terakhir untuk menindak pelanggaran. Represif
merupakan upaya yang bisa dilakukan guna menindak suatu pelanggaran yang sudah terjadi baik untuk
pelanggaran yang sebelumnya sudah dilakukan pencegahan, maupun untuk
pelanggaran yang terjadi sebelum dilakukan pencegahan.
Tindakan
represif salah satunya dapat dilakukan dengan memberikan hukuman bagi pelanggar
yang bertujuan memberikan efek jera bagi pelanggar itu sendiri agar kedepannya
pelanggaran tersebut tidak diulang kembali. Hal ini sependapat dengan hadits
nabi yang berbunyi “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan
tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu
maka (tolaklah) dengan hati (yang tidak membenarkan), dan hal itu adalah
selemah-lemahnya iman (HR. Muslim)”. Kata “siapa yang melihat kemungkaran” ini
merujuk pada suatu masalah yang sudah atau sedang terjadi. Dan tentunya bentuk
pengendalian sosial yang sesuai dengan hadits diatas satu-satunya adalah
tindakan represif. Sesuai dengan hadits diatas, bentuk tindakan represif
tersebut dilakukan dengan berbagai cara diantaranya merubah dengan tangan,
dengan lisan, dan yang terakhir dilakukan dengan penolakan hati yang tidak membenarkan
atas kemungkaran atau pelanggaran tersebut.
Merujuk
dari sisi makna, bentuk tindakan represif pertama pada kalimat “rubahlah dengan
tangan” pada hadits diatas dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya,
pertama yaitu dengan menghalangi pelaku dengan harapan agar pelaku tidak jadi melakukan tindakan
tersebut, kedua dengan menghilangkan alat yang digunakan pelaku untuk melakukan
pelanggaran, dan yang ketiga yaitu dengan memukul pelaku agar menghentikan
tindakan tersebut. Bentuk tindakan represif kedua sesuai hadits diatas yaitu dengan cara
merubahnya dengan lisan. Cara ini dilakukan dengan memberikan nasihat-nasihat
terhadap pelaku agar menghentikan prilaku menyimpangnya. Sedangkan cara yang
ketiga yaitu merubahnya dengan hati. Cara ketiga ini merupakan cara terakhir
atas ketidakmampuan kita menumpas pelanggaran yang tampak didepan mata kita
disebabkan oleh keterbatasan fisik sehingga jika kita melakukan dua cara diatas
ditakutkan akan mengancam keselamatan diri kita. Namun cara ketiga ini
dikatakan sebagai selemah-lemahnya iman seseorang.
Di
zaman sekarang ini, orang-orang umumnya lebih senang menggunakan cara ketiga
untuk menghadapi pelanggaran yang tampak didepan matanya disebabkan oleh takutnya
mereka akan terjerat masalah yang akan merugikan mereka baik secara moril
maupun materiil. Hal ini tak luput juga dilakukan oleh beberapa guru-guru kita
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh murid-muridnya. Hal ini nyatanya akan
menjadi satu bentuk ketidakpedulian terhadap tumbuh kembang peserta didik di
era yang mengatasnamakan hukum dan HAM seperti saat ini. Jeweran, pukulan kecil
untuk murid yang melakukan pelanggaran yang walau niatnya untuk membentuk sikap
disiplin pada diri diri peserta didik nyatanya saat ini dikatakan sudah menjadi
satu bentuk pelanggaran HAM.
Akan
beda kasusnya jika hal ini terjadi pada tempo dulu. Pendidikan pada masa lalu,
begitu menekankan sikap disiplin pada diri anak. Hal ini didukung pula oleh
orang tua di masa itu. Orang tua di masa lalu tidak akan pernah menuntut guru yang
memukul anaknya jika hakikatnya pukulan tersebut dimaksudkan agar si anak tidak
melakukan kesalahan serupa serta dimaksudkan pula agar si anak segan terhadap
gurunya lalu mau mendengarkan segala apa yang disampaikan dan dinasehatkan oleh
gurunya. Contoh kecil, guru-guru mengaji pada masa lalu tidak pernah tidak
membawa rotan saat mengajar anak didiknya. Ketika anak didiknya tidak serius
membaca Alquran, maka si guru tidak akan segan untuk melayangkan pukulan kecil
pada si anak. Orang tua pada masa itu faham betul akan bentuk pendidikan
semacam ini dan mereka mendukung, sebab mereka sadar betul bahwa pukulan kecil
semacam ini adalah bentuk kepedulian dan cinta seorang guru terhadap muridnya. Hasilnya
dapat kita lihat, abang-abang kita, orang tua kita, kesemuanya jadi pandai
mengaji. Ala bisa karena dipaksa. Disamping itu, anak-anak didikan zaman dulu
kalau dilihat dari sisi sikap mereka, karakter, serta kepribadian mereka akan
akan tampak jauh berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak hasil didikan masa
kini.
Perbedaan
sikap, karakter, serta kepribadiaan tersebut sangat mudah untuk kita jumpai.
Dapat kita lihat, Berkat hukum dan HAM yang ditujukan untuk guru yang bertindak
keras mendidik anak didik ,hasilnya anak-anak
didik di masa ini menjadi cenderung
bermental tempe, manja, senang berlindung di “ketiak” orang tuanya. Selain
itu, anak-anak di masa ini cenderung tidak lagi segan terhadap guru-gurunya.
Berbagai bentuk pembangkangan, sikap kurang ajar sangat umum kita jumpai pada
diri anak sekolah yang dilakukan terhadap guru-gurunya. Nama guru dijadikan
sebagai bahan ejekan, guru garang dibenci bahkan tak urung dimaki-maki, dan
masih banyak lagi bentuk kemunduran moral anak yang terjadi saat ini sebagai
akibat tidak adanya lagi sikap menghormati guru.
Ada
sebuah cerita menarik yang datang dari Jordania yang dimuat di salah satu Koran
di Malaysia. Seorang hakim mengejutkan semua peserta sidang. Ia turun dari
tempat duduknya menghampiri terdakwa lalu mencium tangan terdakwa tersebut.
Terdakwa yang seorang guru SD tersebut heran terhadap tindakan si hakim. Si
hakim berkata, “inilah hukuman yang kuberikan kepadamu, guru”. Diceritakan
bahwa terdakwa tersebut merupakan guru SD yang dilaporkan oleh orang tua yang
merasa anaknya dipukul oleh guru SD tersebut. Siapa sangka sosok yang kini
menjadi hakim tersebut merupakan anak didik dari terdakwa tersebut. Hakim
tersebut sadar betul bahwa pukulan dari guru bukanlah merupakan bentuk
kekerasan. Pukulan tersebut hanya dimaksudkan agar si anak didik mengerti
akhlak dan lebih disiplin nantinya.
Sepenggal
cerita diatas patutnya dijadikan renungan bagi orang tua, serta penegak hukum
di masa ini. Cerita guru yang menjadi terdakwa atas kasus pemukulan terhadap
peserta didik ini bukan hanya terjadi satu dua kasus di negeri ini. Seperti
yang dirilis di Kabar Sumatera, Sudah menjadi fenomena, guru saat
ini terkesan membiarkan siswanya. Mereka hanya menjalankan kewajiban mereka
mengajar, setelahnya mereka pulang. Bukannya mereka tidak mau mendidik muridnya
lebih baik, memperhatikan sikap dan moral peseta didik, mereka sudah terlanjur
takut dilaporkan oleh wali murid seperti yang dialami rekannya. Sudah berapa
banyak guru-guru di Sumatera Selatan yang harus berurusan dengan kepolisian
disebabkan mereka yang memukul anak didiknya yang melakukan kesalahan.
Hal ini
sepatutnya dijadikan cerminan bagi orang tua dan aparat penegak hukum yang
cenderung mempermasalahkan masalah diatas. Apa jadinya seorang anak jika
guru-gurunya sudah enggan peduli menegur anak bapak ibu ketika melakukan
kesalahan. Anak didik sudah tidak lagi menghormati gurunya. Sebab bagaimana
mungkin materi pelajaran akan dapat diterima jika apa yang disampaikan oleh
sang guru hanya didengar sebatas angin lalu, guru-guru dilawan dan cenderung
tidak lagi disegani di zaman yang dimana-mana selalu dikaitkan dengan hukum dan HAM. Sepatutnya kita sadar bahwa pukulan
kecil dari gurumu adalah bukti cintanya mereka terhadapmu.
No comments:
Write comments