Junior merupakan periode awal
bagi Individu yang ingin masuk ke dalam
suatu lingkungan yang baru, suatu lingkungan yang jauh berbeda dari lingkungan
asalnya. Dalam masa ini tentunya akan
banyak perbedaan yang akan dirasakan oleh individu tersebut. Merasa terasingkan
misalnya.
Mahasiswa baru atau
yang lebih umum dikenal dengan sebutan Maba adalah sosok junior yang baru menempuh
bangku kuliah. Tentu banyak hal yang baru, yang berbeda, yang dialami oleh individu
pada masa ini. Mulai dari status
pendidikan, atau mungkin “perlakuan”. Masa Maba ini umumnya dirasakan berat
oleh semua individu sebab dalam masa ini seorang individu dituntut untuk patuh
dan taat dengan yang namanya “aturan senioritas”.
Sedikit melirik ke belakang dari mana asal
adanya doktrin senioritas, Indonesia yang dulunya merupakan bekas Negara
jajahan tentunya memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda jika
dibandingkan dengan Negara-negara adikuasa pada zamannya, yang lahir dan
berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Doktrin sebagai Negara jajahan yang
dulunya ditanamkan oleh rezim kolonialisme dulu, saat ini seakan menjadi
makanan sehari-hari yang konon bisa dijadikan sebagai tradisi turun temurun.
Doktrin Senioritas misalnya. Adakah bagi bangsa yang dulunya mengedepankan asas
kekeluargaan ini mengenal apa itu senioritas?. Penulis rasa itu tidak, serta
tidak akan pernah ada yang namanya itu. Bahkan penjajah saja enggan menerapkan
asas senioritas di negaranya. Semua dapat kita lihat pada bentuk orientasi mereka di kampus-kampus
Negara mereka misalnya. Tidak ada bullyan
sedikitpun untuk junior. Senior difungsikan sebagai pembimbing, perangkul yang
muda. Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang ada di Negara
ini. Di zaman orde barupun doktrin seperti ini juga turut diterapkan, prinsip
yang kuat yang berkuasapun tak luput diterapkan layaknya bentuk kolonialisme
baru bagi Negara yang baru merdeka. Pemerintah bersikap otoriter. Hak bicara
seakan hanya milik penguasa. Kritik sosialpun diabaikan.
Senioritas menurut penulis,
lahir dan hanya ada di Negara-negara yang baru berkembang, Negara bekas
jajahan, seperti halnya pada Negara ini. Senioritas merupakan bentuk baru dari
doktrin kolonialisme yang mana yang di bawah harus tunduk pada penguasa, yang
baru harus tunduk pada aturan yang lama, yang lemah harus tunduk kepada yang
kuat, kebebasan berpendapat dibatasi.
Dalam hal Orientasi di
Negara ini misalnya, umumnya berlaku beberapa pasal yang konon dibuat untuk
melanggengkan asas senioritas. Senior ibarat mahluk tanpa celah, tanpa salah.
Apapun yang dilakukan mereka merupakan perintah, tidak ada kata salah untuk
mereka. Mirip halnya seperti pada masa kolonialisme dan Orde baru. Kebebasan
berpendapat junior dibatasi.
UUD NRI tahun 1945
pasal 28 menegaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal
19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa “ Setiap orang
berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini
termasuk mendapat kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan
pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas”.
Dalam hal ini jelas
adanya bahwa setiap orang memiliki hak asasi yang sama sebagai kodrat
lahiriahnya, sama-sama berhak bicara, menyampaikan pendapat yang menjadi
unek-unek dalam fikirannya tanpa tekanan, tidak peduli status, yang muda atau
yang tua, junior atau senior, mereka memiliki hak yang sama. Nah, dalam hal ini,
menyampaikan pendapat tentunya harus dengan memperhatikan beberapa aspek
sebagai berikut diantaranya dengan argumentasi yang kuat dan jelas,
mementingkan kepentingan orang banyak, serta terbuka menerima pendapat atau
sanggahan dari orang lain. Faktanya pada poin ketiga ini sudah sangat sedikit
sekali dimiliki oleh tiap individu pada masa ini. Seringkali kita jumpai dalam
rapat misalnya, seolah-olah merasa diri yang paling benar sehingga secara sadar
atau tidak, hak bicara orang lainpun kita batasi. Seakan hanya pendapat kitalah
yang paling benar. Hak orang lain kita langgar. Ketika pendapat orang lain
berbeda dengan jalan fikiran kita, bukannya menghargai, tapi malah menjudge,
perkataan yang tidak baikpun terlontar. Rapat yang umumnya dijadikan sebagai
sarana musyawarah untuk mufakat kini berubah menjadi ajang untuk berdebat,
ajang adu hebat.
Analogi maba dan kampus
hanya merupakan analogi kecil dari praktek senioritas yang berkembang di Negara
ini, tentunya masih banyak lagi praktek-praktek senioritas yang masih
berkembang di masyarakat. Senior junior nyatanya memang kodrat, tapi tidak
untuk senioritas. Yang tua patutnya membimbing yang muda, mengarahkan dengan
ajakan yang hikmah dan hasanah. Kemerdekaan berpendapat itu mutlak milik setiap
orang. Tentunya merupakan bentuk pelanggaran hukum jika kita membatasi hak
orang lain berpendapat. Tidak selamanya yang tua itu benar, namun juga belum tentu
yang mudalah yang benar. Menghargai pendapat orang lain merupakan bentuk sikap
luhur yang harus dipupuk di diri kita. Terlepas dari benar atau salahnya
pendapat mereka, jika ingin menyanggah maka sanggahlah dengan cara yang baik,
bukan dengan teriakan menjatuhkan yang hanya akan menyulut amarah dan
kebencian. Hargai pendapat tanpa batas.